Tumbuh Bersama Komunitas, Bukan Kompetitas

Beberapa waktu yang lalu, saya menemui diri saya sendiri.

Ia terpuruk dan berlutut. Menangis.

Saya kebingungan. Saya coba menyapanya. “Hai.” Dan ia meremas kepalanya, menyisakan pening yang kurasakan. “Ya saya tahu. Kita gagal.”



Penolakan adalah hal yang dibenci semua orang, termasuk saya. Tidak ada seorang pun di dunia ini yang bahagia dengan penolakan – fresh graduates kepada perusahaan, pemuda remaja kepada kekasinya, kakek-nenek kepada cucunya – dan kukira bagian terburuk dari penolakan adalah fase bangkit-nya. Bagaimana ia dapat bertahan dari kegagalan dan berusaha membuat kehidupan yang lebih baik.

Dua minggu lalu, saya benar-benar jatuh. Saya tidak lolos dari seleksi BEM fakultas dan tidak lolos wawancara kerja part-time. Keduanya sangat saya inginkan – saya belum menorehkan bakti kepada fakultas melalui organisasi dan saya membutuhkan pengalaman kerja secara profesional. Ironisnya, kedua hal tersebut terjadi secara bersamaan tepat ketika saya tidak siap menerima hal itu. Saya menunduk dan terdiam di kamar. Tidak ada cara lain untuk mencoba karena saya berpikir ‘Kesempatan tidak datang dua kali’. Lebih-lebih, saya berpikir ‘Kukira aku lebih baik dari orang lain, aku tidak sanggup melihat mata meremehkan mereka.’

Di saat itulah saya menemukan diri saya sendiri. Diri saya yang angkuh dan optimis karena pengalaman yang saya miliki tidak dapat membantu untuk menggapai sesuatu yang tampaknya sederhana. Ia putus asa; ia tak tahu bahwa hal-hal dapat bekerja di luar dugaannya. Aku terdiam saat itu, karena nampaknya tenggelam dalam kesedihan merupakan sesuatu yang nikmat.

Ya, tenggelam dalam kesedihan adalah ilusi paling manis yang pernah ditawarkan pada manusia. Penipu ulung bertirai ganda: “Saya tidak bisa apa-apa” atau “saya mau saja bangkit tapi sudah tidak ada harapan”. Menggali kekuatan diri sendiri, membandingkan, lalu menyalahkan orang lain adalah bumbu pelengkap terbaik yang menambah citarasa putus asa.



Hingga aku sadar itu salah.

Ketika saya belajar bahwa asetmu satu-satunya adalah dirimu sendiri, bukan karena orang lain. Berlarut duka terlalu lama tidak akan mengubah waktu, begitu pula dengan stagnansi yang hanya bisa ditangisi untuk kemudian hari. Pelan-pelan saya berusaha mengajak diri saya yang lain bangkit, dan ia awalnya menolak. “Tidak ada harapan,” katanya. “Kita adalah delegasi terburuk yang hidup pernah tawarkan.” Wajahnya begitu buruk rupa, tapi saya menatapnya. Saya berusaha meyakinkannya, berbenah diri adalah kuncinya. Menempa diri adalah konsepnya.

Perlahan saya bergerak keluar. Seolah semua hal tampak berbeda. “Itu karena kau dicap sebagai orang yang gagal,” ujar diriku yang satu lagi. “Kubilang, kita adalah kegagalan.” Segera kutepis pikiran itu; tidak lama kemudian saya bertemu dengan salah satu teman yang pernah mengejar tujuan yang sama – dan ia berhasil. Ia menyapa saya dengan senyum, dan melanjutkan aktifitas seperti biasa.

Tidak ada rasa keraguan atau sikap “Hai, pecundang” padaku. Ia adalah teman saya sebelumnya, dan sampai sekarang. Begitu pula dengan teman-teman lain. Mereka tetap memberikan dukungan atas apa yang saya lakukan tanpa memandang apakah saya adalah orang yang gagal. Tidak ada. Diri saya yang satu lagi salah.

Begitu pula dengan rekan kerja saya yang mendapat tawaran pekerjaan tersebut. Awalnya saya begitu canggung menatapnya, tetapi dia adalah orang baik yang tetap akan menjadi teman saya. Ia memberikan dukungan ketika tahu saya tidak lolos bersamanya, bahkan mendorongku untuk tidak kalah dengannya. Saya terperanjat; karena saya kira dia adalah pesaing saya. Tidak; dia adalah kawan saya dalam berproses.

Saya beranikan diri untuk menghubungi teman saya yang merupakan salah satu pengurus BEM. Perlahan, saya memijat papan tombol virtual untuk menyusun kata, “Bisakah kau jelaskan apa yang menjadi pertimbanganmu dalam tidak memilihku?”. Kuletakkan ponsel dan melakukan hal lain agar tidak terbebani. Dua menit kemudian bergetar. Saya berdegup ragu ketika mulai membuka pesan, dan di luar dugaan ia menjelaskannya dengan sangat baik dan ramah. Seperti tidak terjadi apa-apa; seperti saat ia bercakap denganku sebagai kawan karib sehari-hari.

Saya berhembus lega dan merebahkan punggung di sandaran kursi. Saya berhasil menghilangkan pikiran kompetitif saya, sebuah racun yang mematikan harapan karena manusia tidak akan pernah berhenti bersaing. Saya mulai bergerak, dan saya memantapkan hati untuk mengukur kemampuan dari diri saya yang lalu. Indikator kemajuan bukanlah apa yang saya hasilkan dibanding orang lain, tetapi dibanding diri saya sebelumnya.

Kompetitif mengakibatkan saya lupa akan kehadiran teman-teman saya. Mereka tiada henti mendukung saya secara rohani. Mereka membantu saya mencari kegiatan yang mampu mengembangkan diri saya agar saya menjadi lebih baik. Saya membuat resolusi ringan namun progresif, dan berusaha menggali bidang-bidang yang kiranya saya mumpuni. Semua itu saya lakukan dengan bantuan kawan-kawan yang bersedia untuk berbagi. Sesuatu yang dulu kesulitan saya lakukan karena minder dan takut akan omongan negatif yang disematkan pada saya.



Tidak ada titik yang membuat saya bersyukur akan kehadiran teman-teman lebih dari saat ini. Mereka, yang dulunya saya anggap akan mentertawai saya ketika mendapat kegagalan, justru menjadi fondasi kokoh dalam memantapkan pilihan. Kawan dengan hobi yang sama – mereka justru memberi saran yang membangun dan mau berbagi ilmu dengan saya; sesuatu yang dulu saya tidak berani untuk lakukan. Begitu pula dengan kawan yang lebih mendapat kesempatan berkembang – mereka tetap terbuka dan mau membantu saya dalam berbagai hal. Bukan kompetisi yang membangun dirimu, tapi komunikasi.

Di akhir kata, manusia memang tidak bisa melepaskan dirinya dari gengsi. Apalagi media sosial telah menggembar-gemborkan persaingan mulai dari konten tweet, jawaban ask.fm, hingga feed instagram. Semua ingin menjadi ‘paling’, semua tidak ingin ada yang sama ‘paling’-nya. Kesampingkanlah. Bukankah kita perlu membentuk koneksi untuk saling apresiasi, bukan rival kompetisi unuk saling mengkritisi?

#CommunityNotCompetition

-Terinspirasi dari The Photographer's Manifesto oleh Ben Sasso-

3 komentar:

  1. Saya senang bisa membaca tulisan kamu di post ini, sangat menginspirasi, karena tidak semua orang berpikir seperti apa yg kamu pikirkan (yg kamu tuangkan lewat post ini). Semoga kamu bisa terus berpikiran positif dan menjadi pribadi yg lebih baik :)

    BalasHapus
    Balasan
    1. Salam, Anonim. Terima kasih telah menyempatkan waktu untuk mengunjungi tulisan saya. Syukur, bisa menginspirasi :)

      Saya merasa bahwa apresiasi dalam segala aspek kemanusiaan telah berkurang drastis, sehingga saya, dengan kepercayaan diri yang rendah, kerap merasa gagal dan terpuruk. Dari situ saya belajar bahwa setidaknya saya bisa mempelajari apa yang saya gagal, menerimanya, kemudian mencari hal hal yang dapat saya apresiasi dari diri saya. Sehingga ketika saya bangkit, saya bisa memahaminya sebagai sebuah proses, bukan mengelak dari kegagalan.

      Semoga Semesta selalu menaungi Anda, dan terima kasih atas doanya. Salam :)

      Hapus
  2. Instantly in love with your writings, Dis! xxx

    BalasHapus

Terima kasih telah berkunjung. Sila untuk bertandang kembali bilamana saya membalas :)

Instagram