Pintu Keluar Itu Ada, Tapi Kamu...

Aku yang dulu mungkin akan berkata "Stop, jangan. Aku takut. Jangan."

Dan menyalahkan Semesta, atau menunggu Semesta bertindak, atau kembali menyalahkan Semesta saat hal yang kuharapkan tidak segera ditindaklanjuti.

Banyak sekali hal yang membuatku tidak nyaman, tapi aku tetap diam. Seolah ingin dihantam, memberikan diri pada Ketidaknyamanan meskipun aku tahu it killed me slowly.

Bukan, bukan ketidaknyamanan yang kamu tahu akan berbuah manis.
Tapi ketidaknyamanan yang kamu tahu, bahkan buahnya pun masih ragu-ragu.

Aku hanya diam. Aku takut. Aku tahu, aku harus apa. Tapi aku enggan karena berubah, berarti mulai dari 0. 

Dan mulai dari 0, berarti ada kemungkinan kamu tidak akan mencapai posisi yang sebelumnya kamu sudah miliki.

Aku bertanya-tanya, apakah "Syukuri apa yang ada" adalah sebuah justifikasi untuk tidak maju dan diam untuk diremukkan?

Unsplash
Selama 2 tahun terakhir di masa SMA, aku termasuk salah satu anak populer yang di-bully. Entah karena populer, lalu aku dibully. Atau karena aku dibully, makanya aku populer. Aku pribadi sih menganggap yang pertama.

Ada satu anak yang membuatku kesal. Dia mempersuasi satu kelas untuk mengucilkanku. Sebenarnya, aku berteman baik dengan semua teman (catatan: satu kelas minus dia) tapi setiap kali dia muncul dan bertingkah, seolah dunia menjadi jungkir balik.

Pertanyaannya: Apa yang kulakukan saat aku presentasi dan dia tiba-tiba mesuh atau mengumpat sambil menunjuk ke arahku?

Diam. Menangis.

Dan kembali menyalahkan Semesta, kenapa kesabaranku tidak terbalas dengan kehancuran sosoknya.

Saat aku bertanya kepada ayahku, beliau hanya berkata "Syukuri apa yang ada!"

Mengapa jika aku bersyukur, tapi aku masih remuk redam?

Mengapa jika aku bersyukur, aku harusnya tersenyum, tetapi kenapa aku menangis?

Aku mulai memikirkan kata-kata itu hingga ayahku datang dengan kalimat selanjutnya, "Atau kau hajar saja dia."

Wow, kenapa nggak terpikirkan?

Kenapa aku selalu berpikir untuk diam, defensif, dan berharap Semesta untuk menolongku?

Nyatanya, aku memilih untuk 'bersyukur' karena 'menghajar' berkorelasi negatif dengan segala hal di dunia ini.

Keputusan yang buruk, karena aku tidak bersyukur atas semua hal yang kualami selama SMA. Aku bersumpah tidak akan membiarkan diriku remuk redam lagi.

Pengalaman itu mengajariku, bahwa jika kamu menghadapi suatu masalah, sebenarnya pintu keluarnya ada di sana.

Namun, apakah pintu keluar itu aman?

Belum tentu.

Kembali ke masa lalu. Jika aku saat SMA memilih untuk menghajar anak itu...
  • Aku menunjukkan eksistensi bahwa aku tidak pantas dibully
  • Semua orang memahami bahwa aku kuat
  • Dia, entah akan meminta maaf, atau tidak membully lagi, atau apapun yang tidak melukaiku
Kabar buruknya, hal itu mungkin akan diikuti dengan...
  • Aku akan dianggap nggak asyik, gitu aja kok dihajar
  • Pertemanan dengan teman sekelas yang sudah terengah-engah, jadi putus tengah jalan
  • Teman-temanku menganggapku sebagai psikopat
Okay, itu cukup riskan ternyata. Bagaimana pun, aku tetap tidak puas dengan keputusan yang kuambil saat SMA.

Dan saat dewasa ini, rupanya polanya tidak banyak berubah.

Unsplash
Suatu malam saat saya dan Dear menaiki sepeda layang wisata di Batu yang dinginnya tidak tahu malu, dia tiba-tiba berkata,
"Aku tidak menyesal untuk membuang semuanya."

Aku menoleh ke arahnya. "Membuang apa?" Karena jelas dia masih berpegangan dengan erat pada setang sepeda layang dengan gemetar.

"Membuang semua hal yang sudah kubangun dengan mantanku, keluarganya. Untuk memulai kembali bersamamu. Menakutkan, karena aku tidak tahu apa yang terjadi. Tapi yang jelas, aku mau melakukannya karena kita akan menjalaninya bersama." Dia tersenyum. "Dan ternyata aku tidak salah."

Pandangannya masih lurus ke arah gemerlap kota Malang di kejauhan (karena dia mungkin takut melihat ke bawah). Aku menatapnya lekat.

Kira-kira, begitulah yang aku rasakan saat memilih dia. Aku takut untuk memulai hubungan baru. Ketika aku sudah stuck dan merasa bahwa hidupku sudah hampa, ada sebuah pintu baru. Pintu keluar itu nyata adanya. Dan aku mulai bertanya-tanya, "Apakah pintu keluar ini benar?"

Tapi yang aku ingat, bahwa perasaan ini menyenangkan. Aku tidak akan menyesal. Aku akan menjalaninya dengan sepenuh hati. Roller coaster apapun akan aku hadapi.

Hingga detik ini aku menulis, tidak terbesit rasa menyesal atau pun menyadari bahwa itu semua hanyalah tipuan awal kencan kami. Tidak. Rasa bangga dan bahagia itu masih ada.

Bahagia karena memilih "Pintu Keluar" yang kamu tidak tahu apakah aman atau tidak, tapi kamu mau membukanya. Dan kebahagiaan itu muncul bukan karena pintu keluar itu benar. Tapi lebih kepada kemauanku untuk membuka pintu itu.

Pintu Keluar itu masih ada, di sampingku saat ini, yang sedang tertekan oleh sebuah tenaga tak kasat mata bernama...

Unsplash

Pekerjaan.

Sudah 2,5 tahun aku menjalani pekerjaan ini. Well, bisa dibilang, ini adalah pekerjaan paling menyenangkan. Membuat konten, menjadi public speaker, dan menanggapi seluruh komentar.

Tapi lama kelamaan, kebahagiaan itu pupus. Digantikan oleh gerakan robotik yang terlaksana secara otonom tanpa adanya perasaan.

Ada banyak hal yang tidak bisa kusampaikan, namun bisa kugambarkan. Rasanya seperti zombie yang hidup dari hari ke hari, mendengarkan ocehan yang tidak penting, dan berusaha untuk menguatkan diri sendiri juga butuh tenaga!

Tidak nyaman. Rasanya remuk redam.

Seperti saat 2 tahun terakhir di SMA.

Perbedaannya, resiko yang muncul untuk membuka pintu itu semakin besar.

Ada banyak hal yang harus dipertimbangkan. Bagaimana keluargaku? Bagaimana kehidupanku? Bagaimana dengan banyak hal lain?

Sejujurnya, hal itu tidak kupedulikan. Kalau bisa.

Aku sudah fokus pada diriku sendiri. Aku ingin mencoba hal baru. Hal yang aku tahu, akan menakutkan, tapi aku akan serius menjalaninya.

Pintu Keluar itu nyata, namun tertutup oleh tirai kelam. Kamu tidak tahu isinya apa.

Kamu bisa menebak, tapi saat kamu masuk, kamu takkan bisa kembali.

Kamu takkan bisa mengulang masuk ke pintu yang sama.

Kamu akan keluar menanggalkan semua yang sudah kamu kenakan.

Pertanyaannya, beranikah dirimu memprioritaskan kesehatan mentalmu dengan keputusan yang kamu ambil?

Aku yakin, aku tidak akan menyesalinya.

Namun aku belum tahu apakah aku siap.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Terima kasih telah berkunjung. Sila untuk bertandang kembali bilamana saya membalas :)

Instagram