Ketika Remote Worker 'Dipaksa' Work From Home...

Ketika tulisan ini ditulis, sudah 4 bulan sejak saya bekerja full #dirumahaja.

Artinya, saya melakukan rutinitas yang seharusnya dimana-mana jadi di rumah saja. Termasuk makan, meeting, mengerjakan tugas, dan sebagainya.

Saat ini, saya mengelola 2 pekerjaan part time, 1 freelance, dan puluhan pekerjaan kecil seperti jasa edit skripsi ataupun jasa verbatim. Bisa dibilang, saya bekerja SENIN sampai MINGGU tanpa henti, wow!

Bayangkan melakukan pekerjaan Senin - Minggu di rumah saja dengan kondisi yang sama, melihat pemandangan yang sama, dan tentunya rayuan manis pulau kapuk alias tempat tidur kamar kos yang sangat, sangat nyaman.


Lucunya, ini seolah menjadi 'jawaban' dari permintaan saya berbulan-bulan yang lalu

Work from home adalah kondisi ideal saya untuk bekerja... Setidaknya sampai bulan lalu. Foto dari Unsplash.

I have to admit, saya harus mengakui bahwa saya tidak suka bekerja di kantor. Saya benci rutinitas. Hasil tes psikologi saya menunjukkan saya memang mudah tertekan dengan hal yang monoton.

Inilah mengapa sekitar setahun lalu, saya mengajukan kepada Riliv bahwa saya minta 1 hari remote working alias bekerja di luar.

Kesehatan mental saya sangat, sangat berubah menjadi lebih baik. Karir saya meroket. Produktivitas saya melonjak naik.

Sedari 2019, saya selalu berpikir "Bagaimana bila semua pekerjaan dikerjakan di rumah tanpa harus ke kantor? Rasanya tentu membahagiakan!"

Bisa dibilang, saya adalah remote worker sejati! Saya nggak butuh kantor! Saya bisa kerja dimana saja tanpa harus kekantor! Work from office is so yesteryear!

Memangnya apa pikiran saya dulu tentang remote worker?

Selain tes psikologi dari psikolog profesional, saya juga menyadari bahwa saya memang kurang cocok dalam hal rutinitas seperti pergi ke kantor.

Selama menjalani partial remote working, seperti di Riliv atau di pekerjaan part time sekarang di Mebiso, saya merasa bebas. Saya tidak bosan dan saya bisa lebih fokus bekerja setelah meeting terus menerus.

Saya kira ini adalah gaya bekerja terbaik yang bisa saya adaptasikan, tentu saja.

Namun pandemi benar-benar membuat saya harus mempertimbangkan keputusan tersebut!

Awal mulanya, saya rasa ini adalah saatnya para remote worker untuk bangkit! Tentu saja saya berpikir bahwa jiwa remote worker saya akan membantu saya mengatasi kesulitan pandemi.

Bulan pertama, saya bisa menghasilkan pekerjaan lebih cepat dari biasanya. Saya bisa memasak makan siang dan memasak teh, tentunya.

Siapa yang tidak suka mengerjakan artikel sambil mengenakan baju tidur dan ngemil cireng di atas tempat tidur?

Di saat semua orang menangis karena tidak bisa bertemu teman kerjanya, saya memasang headset dan mendengarkan lagu dangdut sambil menyelesaikan 5 artikel dalam waktu singkat.

Namun memasuki bulan kedua, semua terasa kelam

Jenuh, jenuh, jenuh! Foto dari Unsplash.

Saya sempat stres, bahkan menangis-nangis.

Tanpa disadari, saya bukan merasa bebas, tapi justru merasa terperangkap.

Bekerja di rumah sudah menjadi rutinitas, tak beda dengan bekerja di kantor seperti yang dulu saya sempat benci.

Lebih parahnya, saya terikat di rumah. Kasus COVID-19 masih sangat tinggi, saya masih parno, takut. Saya di rumah. Saya tidak bisa bertemu pacar. Saya tidak bisa bertemu rekan kerja untuk diskusi.

Belum lagi dengan meeting yang sudah mulai banyak karena keluwesan penggunaan Zoom. Pengajaran yang awalnya diliburkan, kini sudah mulai aktif dengan menjadi digital seluruhnya.

Kini new normal benar-benar mematahkan anggapanku tentang work from home!

Saya kemudian menyadari satu hal...

Bukan soal tempatnya, tapi kebiasaan. Yang jadi musuhku adalah rutinitas dan kebosanan. Dan ketika hal baru menjadi hal biasa, tentu tidak berbeda dengan kejenuhan lainnya.

Apalagi saya tidak bisa keluar rumah, seperti saat saya remote working biasanya.

Dulu, Hari Kamis adalah hari yang saya tunggu. Saya bisa pergi ke C2O Library & Collabtive atau ke Starbucks bertemu Pak Budiono untuk belajar dan remote working.

Sekarang, saya harus di rumah, diam, tidak boleh keluar. Justru ironis, karena work from home menghilangkan kebebasan untuk tidak ke kantor.

Mengapa rumah bisa menjadi distraksi paling serius?

Di kantor, distraksi paling utama adalah:

  1. Ajakan meeting mendadak
  2. Ajakan untuk jajan
  3. Jawilan seorang teman dan berkata, "Bro, tahu nggak..."
Inilah alasan kenapa saya benar-benar butuh remote working 1-2 hari! Supaya target dalam seminggu tercapai!

Namun ternyata selama 4 bulan di rumah, saya justru bisa merangkum distraksinya jauh lebih banyak karena:
  1. Ketika di rumah, kamu harus berhadapan dengan suara "Pakeet."
  2. Kamu harus bersiap berbeanja gas atau beras jika habis.
  3. Kamu tidak boleh ke Chatime atau Starbucks atau kopi-kopi galau untuk mencari AC dan wi-fi murah sambil berganti suasana.
  4. Kamu nggak boleh keluar!
Ya, kebebasan itulah yang hilang! Padahal itu adalah esensi dari remote working itu sendiri.

Apalagi rumah selalu diasosiasikan dengan kondisi istirahat sehingga tentu saja kau tidak bisa secara ideal bekerja layaknya di kantor, bukan?

Jadi ketika kamu bekerja di rumah dan tiba-tiba ada notifikasi Netflix, kamu nggak bisa disalahkan jika tiba-tiba semangatmu menurun drastis.

--


Bagaimana denganmu? Apakah kamu menikmati work form home, atau lebih memilih work from office? Yuk bagikan ceritamu!

Foto dari Unsplash.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Terima kasih telah berkunjung. Sila untuk bertandang kembali bilamana saya membalas :)

Instagram