'Nggak Peduli'? Siapa Takut! : Sebuah Kunci Bahagia Hidup

Pertanyaan: Seberapa sering kamu peduli dengan orang lain?

Pertanyaan normatif sekali, ya? Rasanya dari kecil mulai dari pelajaran kewarganegaraan hingga so-called motivasi hidup selalu menekankan pentingnya kita sebagai insan manusia untuk peduli kepada sesama. Paling basic jelas peduli jika seseorang tertimpa musibah dan kita wajib menolong, tentunya.

Tapi sadar nggak kalau kita belum diajarkan seberapa jauh kita perlu/bisa peduli pada orang lain?

Jadi pertanyaan yang perlu dijawab: Seberapa sering kamu 'nggak peduli' dengan orang lain?

Sebuah pertanyaan yang aneh, ya? Kontradiktif dengan karakteristik masyarakat Indonesia yang cukup kolektif dan gotong royong.

Tapi memang sih, rasanya alasan peduli tidak diimbangi dengan batasan-batasan yang dapat kita tegakkan...

...Agar tidak menyalahartikan sebuah kekepoan dengan kepedulian.

Banyak orang berusaha untuk mengetahui kondisi kita hanya untuk menyatakan pendapatnya tanpa memberikan ruang apresiasi terhadap kondisi kita saat ini.

Alias cuma pingin ngomong aja pendapat mereka, nggak peduli deh kondisi kamu atau bahkan ke tahapan membawa solusi.

Alyssa sudah menyiapkan baju pernikahan yang cocok untuk dirinya. Tetapi menurutmu, dia tampak buncit! Kamu segera menelfon dan mengatakan baju itu tampak buncit. Kamu pun mulai menjelaskan bagaimana tampilan baju pernikahan yang baik dan saran untuk diet kilat h-7 pernikahan.

Bagaimana respon Alyssa menurutmu? 

grayscale photo of gown hanged on window
Jeremy Wongs di Unsplash

Angkat tanganmu jika kamu merasa ingin menyelamatkan semua dunia.

Okay, mungkin nggak semua dunia, tetapi paling tidak menjadi orang yang sangat diandalkan oleh semua orang dan memastikan semua baik-baik saja.

Ternyata ada istilahnya yaitu overcare. Ini adalah sebuah kondisi dimana kamu terlalu peduli dengan orang lain dan hal yang ada di sekelilingmu, tanpa kamu sadari!

Kenapa kok 'tanpa sadar'? Karena selalu ada alasan untuk berusaha peduli atau memperbaiki semuanya atas nama "Buat kebaikanmu, lho."

Nah kalau gini, kita bukan orang kepo, tapi pahlawannya dia. Iya, nggak?

Kamu mungkin melakukannya karena 'peduli', tapi pertanyaannya: apakah dia membutuhkan bantuanmu?

Overcare sendiri merupakan istilah yang saya pinjam dari Heartmath. Di sini dijelaskan jika overcare adalah kondisi ketika kamu terikat emosional dengan sesuatu, kemudian tanpa sadar energimu habis dan menjadi kelelahan karena kepedulian tersebut.

Dampaknya? Tanpa sadar, kamu akan cenderung menyalahkan atau membenci orang atau kejadian yang menyebabkan hal tersebut.

Saat Alyssa mengatakan terima kasih, kamu mulai berpikir bahwa Alyssa tidak mendengarkanmu sungguh-sungguh! Kamu mulai kepikiran bagaimana, jika orang lain menganggap Alyssa buncit karena pakaian pilihannya? Uh dasar Alyssa! Dia terlalu asik dengan dirinya sendiri sampai tidak sadar kalau pendapat orang lain bisa menghancurkannya!

Lelah tidak membayangkan kondisi tersebut? Atau kamu menyukainya?

Sekarang bayangkan jika kamu berada di posisi Alyssa. Dia sudah menyiapkan semuanya, lalu tiba-tiba kamu datang dan menghabiskan energi dengan 'mempedulikannya'. Alyssa mungkin akan sampai di suatu kesimpulan: siapa yang minta kamu peduli hingga hal ini?

Overcare muncul karena kita cemas jika kita 'tidak peduli'

Sudah menjadi fitrah kita sebagai manusia untuk peduli dan menyayangi orang lain. Kedua perasaan ini membawa rasa nikmat bagi diri kita. Namun nikmat yang berlebihan ini menimbulkan obsesi sehingga kita mulai takut dengan yang namanya:

"Jangan-jangan aku bukan orang yang peduli, kemudian dicaci maki?"

Psikolog Deborah Rozman bilang jika obsesi ini bukannya memberikan rasa nikmat, tetapi malah bikin kamu cemas dan satu-satunya cara yang bisa kamu lakukan adalah semakin kepo dengan orang lain.

Wendy Wardner, MD juga bilang kalau overcare mungkin awalnya muncul sebagai sebuah kepedulian yang tulus, tetapi obsesi ini bisa 'menyamar' sebagai rasa marah, jijik, benci yang mengatasnamakan 'kepedulian'.

Overcare juga lebih banyak muncul pada wanita, dikarenakan tuntutan wanita untuk lebih peduli dengan sesama namun lupa pada batas dimana "Mereka lho nggak butuh bantuanmu."

Sampai sini, sudah kerasa belum dimana posisi kepedulianmu saat ini?

Paling mudahnya, coba membayangkan tindakan kita kepada orang lain, lalu bagaimana bila kita berada di posisi mereka. Sempat nggak mereka bilang "Siapa suruh bantu aku?"

'Nggak peduli' bukan berarti antipati!

Bukan berarti kita kemudian harus cuek dan memasang wajah ketus kepada siapapun atau bahkan marah buat orang yang sekadar "Gimana kabarmu hari ini?"

Sahabat saya, Bea, menyarankan sebuah kunci kebahagiaan hidup yang bernama "Being responsibly irresponsible".

Alias, nggak usah ikut campur jika tidak mendesak!

Bea bercerita jika manusia sering banget untuk "...menambah tanggung jawab yang tidak perlu dipertanggung jawabkan." Di sini Bea bilang kalau banyak banget hal di luar kontrol, tetapi kok kita hobi banget untuk mikirin itu ya?

Apalagi jika bicara soal prioritas. Coba refleksi diri, seberapa besar 'tanggung jawab' itu untuk menjadi prioritas kamu?

Jika Alyssa tidak meminta pendapatmu terkait baju pernikahannya, kenapa hal itu menjadi prioritas untukmu?

Apakah tidak sebaiknya kamu menabung untuk membelikannya baju yang menurutmu bagus, daripada memintanya mengubah keputusannya sendiri?

Memang, ada kepuasan tersendiri untuk memberikan kepedulian lebih dari yang dibutuhkan.

Tetapi seberapa prioritas hal itu hingga kamu rela menjadi orang yang annoying dan tentunya, menghabiskan energimu?

"Coba cek lagi. Sudahkah kamu melakukan tanggung jawabmu? Seberapa jauh kewenanganmu untuk berkomentar/memberi masukan?

Jika kamu rasa sudah? Berarti sudah."

man and woman sitting in front of silver macbook
Mailchimp di Unsplash

Saat belajar psikologi, saya belajar menghargai keputusan dari klien, apapun itu, adalah yang terbaik.

Dosen saya menekankan salah satu kesalahan psikolog pemula yang sangat umum ditemui: menjustifikasi keputusan klien apakah benar atau salah.

Beliau melanjutkan, "Psikolog hanya membantu untuk memberikan pencerahan. Psikolog membantu klien untuk berpikir dan memutuskan. Bukan sebagai hakim yang bisa menentukan benar atau salah. Jika klien memutuskan A, maka pastikan jika dia memilih dengan sadar dan diikuti dengan alasan rasional yang produktif."

Bahkan jika keputusan klien tidak masuk akal, well, itu kan menurutmu? Jika ditarik lebih jauh, semakin saya menghargai keputusan klien, maka saya semakin less-worry karena tentunya saya tidak perlu merasa gagal jika klien tidak mengambil keputusan yang saya inginkan.

Ketika saya menulis artikel ini, saya mengakui ada keinginan untuk merubah dunia agar lebih baik dan less-nyinyir.

Tapi saya tahu jika saya tidak bisa memaksa semua orang untuk setuju dengan pemikiran saya.

Jadi yang saya lakukan? Hanya menyelesaikan tanggung jawab saya yaitu menulis dan memberikan tips untuk kamu yang ingin lebih tenang dan menjauhkan diri dari kekhawatiran yang sebenarnya tidak perlu.

"Saya ingin mencoba less-worry, tapi saya bingung mulai dari mana."

Berada pada tahapan "Ingin berubah" pun juga sudah sangat bagus! Berikut tips yang saya rangkum dari Deborah Rozman:

  1. Coba tuliskan mana isu yang kamu pedulikan saat ini. Apakah nilai matematika sepupu? Kompor tetangga? Baju nikahan sahabatmu? Lalu tuliskan, mana yang memberikanmu energi dan menguras energimu?
  2. Coba jelaskan kenapa isu tersebut menambah energi atau menguras energimu?
  3. Coba kamu seolah bicara dengan dirimu sendiri, "Apakah aku perlu menjadi orang yang sangat peduli?"
  4. Coba kamu bicara lagi dengan dirimu sendiri, "Apakah aku sangat menginginkan hasil tertentu dari isu-isu tersebut?"
  5. Ekspektasi, sentimen, simpati, dan attachment - mana perasaan yang sangat mendominasi di isu-isu tersebut?

Ketika kamu sudah mulai melepaskan overcare, kamu akan sadar ada banyak waktu untuk mengeksplorasi dirimu sendiri. Waktu yang selama ini kamu gunakan untuk memikirkan orang lain akan berpindah kepada bagaimana kamu bisa mempedulikan dirimu sendiri.

Yap, perasaan bahagia tidak melulu hadir karena orang lain, kan? Jika sudah mencoba di atas, share pendapat kamu, ya!

2 komentar:

  1. Aku sudah belajar utk tidak peduli terhadap hal-hal yg tdk bisa ku kontrol hihi. Lebih baik fokus terhadap diri sendiri, daripada buang energi 🤣

    BalasHapus
    Balasan
    1. Setuju! Rasanya lebih mudah untuk fokus pada diri kita sendiri daripada berusaha 'membenarkan banyak hal'... yang mungkin belum tentu perlu 🤣

      Hapus

Terima kasih telah berkunjung. Sila untuk bertandang kembali bilamana saya membalas :)

Instagram