Berdamai Dengan Waktu: Catatan Tentang Slow Living

Sebagai mantan karyawan startup, waktu itu segalanya.

Mengutip dari istilah para masyarakat kekinian, hustle culture is real. Dulu, saya belajar bahwa "It's not big against the small, but fast beating the slow."

Kalau kata partner kerja saya, "5 detik kehilangan kita bisa menjadi 5 tahun kesuksesan mereka." Begitu banyaknya nasihat yang ditujukan langsung untuk menggebrak pekerjaan yang 'itu-itu' aja.

Awalnya, konsep ini ditujukan untuk orang-orang yang tergolong pada pekerjaan 'itu-itu' aja. Pekerjaan administratif yang membosankan mungkin.

Well, akui saja kalau kamu seumuran saya saat ini (mid twenties), tentu ogah banget bekerja yang sedentary alias di depan laptop dengan jam kerja 9-5, ya kan? Belum lagi dengan jobdesc yang, sekali lagi, itu-itu aja.

Nggak heran kalau saya, selama 5 tahun terakhir, adalah penganut setia sekte hustle culture. Kalau seharian nggak pegang laptop, rasa bersalahnya ngalah-ngalahin lupa ulang tahunnya pacar. Self-talk negatif seperti, "Aku nggak pantas sukses," "Aku nggak pantas istirahat," "Aku mudah menyerah" bisa jadi merupakan refleksi dari ketakutan yang sukses dipropagandakan oleh hustle culture.

hippopotamus lying on surface near body of water
Foto oleh Tim de Pauw di Unsplash

Pada akhirnya, cepat bekerja berarti cepat tumbang

Ada anekdot menarik saat saya berkuliah sarjana psikologi (dan masih diterapkan saat saya mengambil magister profesional psikologi saat ini):

Meskipun kuliah teknik terasa lebih sulit, namun sejatinya ada kemudahan tersendiri saat menangani mesin dan hal eksak. Mahasiswa teknik nggak perlu takut bahwa objek penelitiannya akan mengalami faktor-faktor di luar dugaan seperti sakit, sedih, marah, kecewa, dan juga masalah psikososial lainnya.

Tanpa banyak analogi, saya bisa simpulkan bahwa hustle culture memperkerjakan manusia layaknya mesin. 

Bayangkan saja jika kamu punya waktu luang dan atasan atau rekan kerjamu bilang, "Kok kamu nggak ngapa-ngapain?" Padahal kamu baru saja bekerja 7 jam! 1 jam-nya buat Netflix santai boleh, ya! Tapi nggak, kamu nggak boleh, karena kamu nggak keliatan bekerja.

Mesin aja butuh waktu cool down, kenapa manusia tidak? Inilah blindspot yang sering dilupakan -- atau diacuhkan -- oleh konsep hustle culture.

Saya kerap menemui beberapa klien yang sekadar curhat, "Saya merasa bersalah jika tidak melakukan apapun atau memikirkan hal lain di hari kerja. Saya capek, tapi saya cemas performa menurun atau dianggap tidak produktif."

Siklus ini akan terus berputar meski roda produktivitas 'seret' alias macet terkena sakit. Sayangnya, banyak yang akan terus memaksakan untuk grind hingga akhirnya mesin itu tak bisa bekerja lagi dalam waktu lama.

What do you think?

Saat semua sudah cepat, maka akan ada dorongan untuk terus menjadi lebih cepat

Percayalah, jika kamu merasa "Kenapa yang kulakukan selalu terasa belum cukup?", itu dikarenakan memang tuntutan untuk menjadi 'lebih' selalu ada.

Beruntung, saya membaca beberapa buku yang membantu menenangkan saya, seperti The Things You Can See Only When You Slow Down (Haemin Sunim), How to Train a Wild Elephant (Jan Chozen Bays), dan In Praise of Slowness (Carl Honoré).

Ketiga buku tersebut menjelaskan sebuah fakta yang logis namun sering dilewatkan: Cepat tidak akan ada batasnya.

Jika kita melaju dengan tujuan, mungkin akan ada saat ketika kita senang bisa berhasil datang tepat waktu atau mungkin lebih cepat. Namun ini adalah hidup, yang seringkali kita justru melupakan sekitar kita saat kita melaju.

Ketiga buku itu juga saya baca kembali saat saya mengalami burnout yang sangat parah.

Di saat saya harus berhadapan dengan banyak tuntutan dari klien maupun akademik, saya juga harus berhadapan dengan tuntutan kehidupan saya sebagai manusia!

Tidak ada satu pun yang harus dikalahkan dan pun mereka semua tidak bisa diselesaikan lebih dahulu untuk bisa dikurangi.

Kenapa saya bisa terjebak di kondisi ini? Karena saya masih menganggap, semakin banyak hal yang saya kerjakan, maka semakin cepat saya bisa sampai di tujuan.

Tujuan apa? Tidak ada. Tidak ada yang membuat saya lebih cepat. Saya justru tidak menikmati dan tidak bisa belajar tentang apa yang sedang saya hadapi!

Kamu pasti pernah merasakannya. Ketika kamu berhadapan dengan ratusan jadwal, dan ternyata menyadari bahwa kamu tak punya waktu untuk diri sendiri! Apakah kamu mau mendefinisikan hidupmu dari segala kesibukan, yang ternyata tidak memberikanmu apapun?

Bukan hanya saya akhirnya stres dan kesehatan terganggu, namun juga performa saya sebagai konselor maupun pekerja freelance menurun drastis.

Lantas apa yang bisa saya kejar bila 'mempercepat diri sendiri' ternyata justru tidak membuahkan hasil apapun dari yang saya ambil?

Slow living bukan mengajarkan untuk menjadi lambat, tetapi lebih menikmati setiap detiknya

Ada sebuah kesalahpahaman besar bahwa lawan dari cepat adalah lambat. Secara semantik mungkin benar, namun secara kontekstual bukan demikian.

Lawan dari Cepat (dengan kapital C, indikasi dari sebuah cult atau gerakan) adalah Perlahan. Cepat di sini mungkin memiliki padanan yang lebih dekat dengan 'Tergesa' daripada 'Memangkas Waktu'.

Apakah kamu ingat rasa dari makanan yang kamu santap terakhir kali? Bagaimana wajah Ibu atau Ayah saat kamu bertemu sebelumnya? Apa kalimat terakhir dari rekan kerjamu sebelum pulang dan apa warna langit sore itu?

Ketiga buku di atas membantu saya untuk lebih aware atau bahasa gaulnya mindful dengan apa saja yang bisa saya kerjakan. Yang saya lalui. Saya nikmati.

Saya bukan berarti melambatkan diri, namun saya berusaha lebih terorganisir dalam mencatat prioritas. Saya juga mulai fokus pada efisiensi to do list.

Daripada saya berusaha untuk mengambil semua hal dan mempercepat masing-masing tugas, saya fokus pada to-do list yang benar-benar saya perlukan.

Deadline tugas saya tetap sama. Saya tetap harus mengerjakan pekerjaan domestik dan tuntutan praktik kerja magang saya. Saya tetap harus menghadapi klien saya pada hari yang sama. Tidak ada yang berbeda.

Bedanya hanya pada bagaimana saya mengelola waktu. Hidup Perlahan membantu saya untuk fokus pada hari itu. Misalkan saya hari itu harus menangani 3 klien, maka saya akan membuat para klien sebagai prioritas. Saya tidak akan mengerjakan hal-hal yang sama beratnya dengan konseling pada hari itu.

woman closing eyes white standing against stainless steel rail
Foto oleh Sean Kong di Unsplash

Slow-Living membantu mengelola prioritas dan belajar melepaskan

Tidak ada yang tidak kita inginkan di dunia ini. Kalau bisa sih, semua kita sabet sekaligus agar tidak FOMO atau pun ketinggalan satu hal.

Manusia, pada dasarnya, takut akan konsekuensi.

Namun, slow-living membantu kita untuk menikmati apa yang kita punya, bukan mengejar yang belum kita punya.

Saya mulai membiasakan diri untuk menuliskan prioritas apa di hari-hari tersebut. Bukan berarti saya saklek dan tidak fleksibel, namun saya jadi punya alasan kuat untuk menolak atau menerima sebuah aktivitas atau kegiatan.

Setiap kali saya menyeduh teh untuk bekerja di malam hari (yang mana sudah termasuk dalam jadwal), saya memperhatikan bagaimana teh tersebut hangat. Selama ini, teh sudah menemani saya sebagai rekan berpikir. Tapi saya kadang lupa, kenapa teh?

Jawabanya bisa saya dapatkan saat saya mulai menikmati setiap kegiatan saya. Teh yang hangat. Setiap tegukannya membasahi kerongkongan. Dan aroma mint yang membantu saya terjaga.

Sederhana, tetapi bermakna.

Dan tentunya, di balik kehidupan yang Perlahan, ada hal-hal yang harus dikorbankan.

Saya tidak bisa melakukan 3 pekerjaan berbeda sekaligus dalam satu waktu. Namun saya bisa mendayung lebih jauh pada satu pekerjaan dan hal itu ternyata lebih rewarding.

Sesuatu yang tidak saya kenali saat di hustle culture. Saya dituntut harus bisa menyelesaikan semua dalam satu waktu.

Tapi apakah benar saya justru bisa mendapatkan semua? Faktanya, saya justru tidak maksimal dalam satu hal pun.

Dan dari slow-living lah saya berusaha untuk fokus, berjalan di arah yang tepat. Saya mungkin pelan, tetapi saya bisa berjalan terus menerus.

woman holding ceramic mug
Foto oleh Parker Johnson di Unsplash

Hal-hal apa saja yang bisa kamu lakukan untuk memulai slow living?

Menyempatkan waktu memasak, sesederhana apapun itu

Saya bukan tipe orang yang bisa memasak banyak hal, jadi saya sebisa mungkin belanja apapun yang versatile alias bisa serba guna. Lalu dipotong-potong agar memudahkan saya untuk memasak tinggal cemplang-cemplung saja.

Setiap memotong kacang panjang, mengiris daging, atau mencincang bawang, saya berusaha untuk mencium aromanya, merasakan teksturnya, bahkan mendengarkan suara 'ctak! ctak!' dari pisau yang saya gunakan.

Manfaatnya: Saya bisa menjadi lebih sabar, sering menarik nafas untuk remind myself bahwa kamu lagi hidup, aman, dan tenang. Saya juga lebih menghargai makanan dan juga memiliki excuse untuk me-time saat masak. Tidak ada deadline atau panggilan dari orang lain. Hanya saya dan sayuran saya.

Jika kamu pekerja atau pelajar, belajar dengan mencatat manual di kertas/buku

Akhir-akhir ini saya bergabung dengan komunitas studygram baik Indonesia maupun mancanegara. Saya menyadari bahwa cara belajar setiap orang bisa berbeda-beda. And it's okay. Saya tipe orang yang suka mencatat manual.

Tidak praktis, memang. Tapi ada rasa yang menarik setiap kali menorehkan pensil atau pulpen di atas kertas. Wow, aku lagi belajar, adalah salah satu hal yang saya pikirkan. Terlebih jika ponsel off atau silent, rasanya seluruh dunia berputar hanya untukmu.

Saya membagi waktu khusus untuk belajar dan mengerjakan. Hal ini agar tidak memecah fokus dan bisa mendapat manfaat yang maksimal.

Manfaatnya: Waktu terasa melambat, dan saya bisa merangkum banyak hal sekaligus. Saya bisa fokus dengan apa yang mau saya pelajari, dan saya bisa mendapat inspirasi untuk pekerjaan atau tugas saya besok.

group of people walking on street
Foto oleh Jeremy Stenuit di Unsplash

Menjadwalkan workout tipis-tipis

Sebelum kamu menutup tab dengan menggerutu, "Hadeeeh, olahraga lagi," saya mau meyakinkanmu bahwa workout bukan berarti harus menggunakan smartwatch atau pun balapan kalori terbanyak.

Workout di sini, bagi saya, hanya sebagai me-time untuk membakar energi yang mengendap karena kebanyakan duduk. Saya juga perlu stretching atau pun menggerakkan badan.

Kamu tipe orang yang suka menari? Lakukan. Lari? Mari. Jalan keliling rumah? Kenapa tidak?

Saya mengkategorikan workout sebagai 'waktu tertentu untuk fokus pada pergerakan tubuh, baik terstruktur atau tidak'. Saya biasanya jalan sore 30-60 menit. Kalau tidak bisa ya hanya stretching. Kalau lagi ingin gerak banyak ya mengikuti instruksi di YouTube. Nggak ribet.

Manfaat: Me-time adalah yang paling utama. Lagi-lagi, kegiatan ini membuatmu tidak in rush mengerjakan banyak hal, dan menikmati prosesnya. Terlebih olahraga bukanlah proses yang semalam tuntas. Saya bukan tipe pelari atau workout intens, namun kenyataannya berat saya turun 2 kilogram selama 2 bulan tanpa usaha yang berat-berat amat. Namun yang terpenting adalah badan saya selalu lebih segar dan jarang mengantuk. Cocok untuk yang sedang mengerjakan tugas!

Jadwalkan untuk melihat dunia luar, dengan perlahan, phone free (kecuali foto)

Masih bersinggungan dengan poin sebelumnya, sih. Saya biasanya menjadwalkan workout sebagai jalan-jalan santai keliling rumah 30-60 menit. Saat ini, saya tidak fokus dengan berapa jarak atau kalori. Saya fokus melihat sekitar saya.

Warna apa langit hari ini. Ada bunga apa? Teksturnya seperti apa? Sedang apa orang yang terdekat denganmu. Apa warna pintu dari rumah kedua di kananmu?

Hal-hal sekitar seperti itu bisa membuat saya grounding atau sadar kembali. Dunia bukan hanya soal jadwal atau tuntutan, tetapi juga detil-detil kecil yang kita lupakan.

Karena saya hobi foto, susah untuk tidak membawa ponsel. Tapi saya selalu pastikan paket data tidak menyala.

Manfaat: Menyadarkan diri bahwa banyak potensi dan hal lain di luar sana yang ... hidup? Yang bisa dinikmati. Ternyata kita tidak ada bedanya dengan ibu yang menjemur kerupuk di halaman depan atau pohon palem di ujung jalan. Kembali ke universe terdengar klise, saran saya coba lakukan sendiri dulu.

Terakhir, kenali dirimu, prioritaskan dirimu

Poin terpenting slow living adalah mengenali kembali dirimu, batasmu. Dan jika hal-hal terjadi di luar kendali, ikhlaskan. Kamu juga perlu tahu kapan harus mengiyakan atau menolak sesuatu.

Saat ini, saya sedang belajar untuk menjadwalkan diri rajin menulis blog. Tulisan apapun itu, yang penting berproses menulis. Jika ada kegiatan atau agenda tidak terduga di hari itu, saya bisa menolak dengan alasan sedang ada agenda tersendiri.

Saya sudah melakukannya 2 kali, dan ajaibnya, saya bisa menjadi lebih bahagia karena berfokus pada diri saya sendiri.

Kalau membaca referensi dari ketiga buku di atas, banyak sekali ilmu praktis dan ilmiahnya. Namun tidak semuanya bisa dilakukan dengan cepat atau pun sesuai dengan tuntutan. Harus saya akui, beberapa slow living hanya bisa dilakukan jika kamu cukup privilege. Seperti jika kamu memiliki anak lebih dari 3 dan semuanya sedang sekolah daring. Tentu berat, saya paham.

Namun hustle culture lebih menuntut privilege yang lebih tinggi lagi. Atasanmu mungkin bisa bekerja terus menerus karena mereka memiliki kemampuan finansial yang baik untuk memesan makanan cepat saji atau ada asisten pribadi yang memasak sehingga tidak perlu bingung makan apa. Sedangkan kamu, dengan gaji UMR, bisa saja kamu masih berpikir mau mengolah nasi kemarin menjadi sajian apa.

Dan ketika kamu sudah mulai belajar untuk slow-living... Kamu akan menyadari bahwa kamu tetap bergerak, lebih aman, dan lebih jauh.


3 komentar:

  1. Aku suka tulisan mba <3 saya lagi merasakan hal yang sama meskipun masih mahasiswa. Dengan segala degup hariannya, saya kira "hustle culture" sudah jadi degup sebagian mahasiswa juga. Salam kenal mba :). Kita pernah ketemu di acara ala mahasiswa mba masih tentang menulis.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Saya sepakat, sepertinya 'hustle culture' adalah sebuah kesepakatan tidak tertulis mengenai 'kalau mau sukses, sengsara dahulu'. Saya kira hal tsb sudah tidak lagi relevan karena sejatinya hidup ini justru pintar-pintarnya kita melakukan hal secara efisien, bukan?

      Salam kenal juga Dwika, semoga bisa terus bersua dan berbagi tulisan :)

      Hapus
    2. He em, tambah lagi mbak, hidup itu sama kehendak Tuhan. hehe

      Hapus

Terima kasih telah berkunjung. Sila untuk bertandang kembali bilamana saya membalas :)

Instagram