Ulasan Film: The Shape of Water (2017), Ketika Makhluk Asing tak Selamanya Berbeda

 Saat film ini keluar, saya tak akan pernah menyangka bahwa film ini akan menarik perhatian saya.

"Apaan sih," pikir saya dalam hati, "Cuma film sci-fi lain yang lagi-lagi mungkin membahas tentang bagaimana makhluk ini akan merusak umat manusia."

Namun apa daya, ketika tiba-tiba seluruh fanart dan fanfiction yang saya nikmati tengah mengadaptasi beberapa scene dari The Shape of Water ini!

Terlebih setelah saya tahu bahwa tokoh utama adalah seorang bisu yang berkomunikasi dengan bahasa isyarat.

Bersiaplah, karena ulasan film The Shape of Water akan sangat liar dan di luar nalar mengingat sebuah premis gila dari film ini:

Ketika seorang perempuan bisu yang bertugas membersihkan lantai di sebuah fasilitas penelitian, jatuh cinta dengan makhluk amfibi asing yang tak bisa bicara.

The Shape of Water (2007)

Dir. Guillermo del Torro. 

From IMDB

Sinopsis The Shape of Water yang Tidak Menggambarkan Absurditas Fana dari Filmnya

Premis The Shape of Water memang gila, tetapi cukup sederhana bagi sebuah film sci-fi pasaran yang sering ditayangkan di bioskop terdekat.

Namun saat menonton filmnya, saya baru menyadari bahwa film ini tak sesederhana itu.

Dimulai dari kehidupan seorang petugas kebersihan bisu bernama Elisa Esposito yang menjalani hidupnya bersama sahabatnya Giles dan kawan dekatnya Zelda.

Layaknya kehidupan dewasa pada umumnya, tak ada yang menarik dari kehidupannya hingga Elisa dan Zelda menemukan bahwa fasilitas penelitian tersebut mengambil sebuah makhluk amfibi yang disiksa. Kita sebut makhluk itu Pria Amfibi, ya?

Mungkin Anda sudah bisa menebak selanjutnya: Elisa berusaha menyelamatkan makhluk tersebut dengan bantuan kedua teman dan satu peneliti yang ditemui saat perjalanan. 

Tepat, namun alur kisah mengapa Elisa memberanikan diri pertaruhkan nyawanya demi Pria Amfibi merupakan inti dari kisah ini.

Di Tengah Film Saya Baru Menyadari, Ini Bukan Film Fiksi Romantis; Ini Kenyataan

From IMDB

Saya mungkin berkomentar pedas, "Aneh!" ketika Elisa menyodorkan telur rebus kepada Pria Amfibi yang tengah terluka. Saya pikir, simpati Elisa hanyalah sebuah plot yang dipaksakan oleh del Torro agar alur tetap maju.

Namun saya salah.

Elisa menyodorkan telur. Kemudian memberikan sebuah gestur isyarat. "Telur", ungkapnya.

Pria Amfibi, membalas dengan gestur yang sama, "Telur".

Pernahkah Anda dipandang sebelah mata oleh sekitar Anda, kemudian ada satu sosok yang begitu mendengarkan bahkan mengikuti bahasa Anda? Ketika Anda dianggap 'kekurangan', sementara orang asing yang begitu berbeda bahkan menganggap Anda sempurna.

Inilah inti dari The Shape of Water. Del Torro begitu apik dalam menyiratkan isyarat yang lugas mengenai penerimaan diri khususnya isu minoritas.

Berlatar belakang tahun 1960-an, Amerika Serikat tengah berperang dengan Soviet, supremasi kulit putih menjadi perkara umum. Minoritas seperti Tuna Wicara, kulit hitam, hingga hispanik tentu menduduki anak tangga terbawah kasta sosial. Bagaimana para wanita kulit putih hidup dalam American Dream mengendarai Camaro berwarna teal dengan anak-anak yang bersekolah dan sarapan roti panggang dengan selai kacang. Sebuah kontradiktif yang indah!

Kenyataan inilah yang diukir sedemikian rupa oleh del Torro untuk membangun emosi pemirsa melalui adegan seperti kaum kulit hitam pekerja yang tengah merokok di bilik yang tersembunyi, keluarga kulit hitam yang diusir dari restoran keluarga, hingga kebencian sang antagonis, Kolonel Strickland, terhadap jarinya yang menghitam karena luka. Hitam jelas bukan warna yang disukai oleh sang pria kulit putih, tampaknya.

Masih banyak lagi kejutan realitas yang disembunyikan oleh del Torro, namun saya menyerahkannya kembali kepada Anda. Jika Anda adalah penggemar simbolisme dalam film, maka Anda akan kenyang dan terpuaskan!

Perasaan Mencekam yang Begitu Hebat Ketika Kamu Dibungkam, Membuat Sesak Karena Tak Didengar

From IMDB

Menonton film ini bukanlah seperti menonton film fiksi ilmiah umumnya.

Ada perasaan sesak dan juga tercekit setiap kali Elisa berusaha berkomunikasi kepada Giles, Zelda, maupun orang lain, termasuk antagonis Kolonel Strickland.

Saat menyaksikan beberapa adegan, saya baru menyadari betapa berteriak adalah sebuah privilege. Ketika seseorang memperhatikanmu, mendengarkan apa yang kau ucapkan, mempertimbangkannya. Namun Elisa, Giles, dan Zelda merupakan kaum minoritas yang tak memiliki suara, bahkan dibungkam.

Ya, dibungkam adalah sebuah istilah yang begitu tepat menggambarkan premis utama film ini. Bagaimana Colonel Strickland memiliki tangan atas akibat pangkat dan warna kulitnya.

Bagaimana Zelda harus berjuang menyelamatkan Elisa sembari mengasuh sang suami yang merupakan gambaran pria paruh baya yang hanya menonton di depan televisi sepanjang waktu. Bagaimana Giles harus melawan kesendiriannya di tengah perasaan kalut atas dosa yang dibawa serta krisis pekerjaan yang didera.

Bagaimana Elisa, yang tak bersuara, berusaha untuk membuat semua orang mendengarkannya. Gestur tubuh, hentakan, tangan, hingga hentakan kaki merupakan ekuivalensi dari apa yang kita bisa lakukan dengan semudah berteriak.

Bayangkan ketika Anda bisa dengan mudah 'membungkam' Elisa hanya dengan mengalihkan pandangan agar tak membaca bahasa isyaratnya.

Upaya Elisa untuk 'didengarkan', untuk 'dilihat', untuk 'dipandang', adalah sebuah upaya yang bisa selesai dengan mudah di film lainnya ketika tokoh utama berteriak, berorasi, dan juga mengeluarkan kalimat mutiara melalui lidah dan kerongkongannya.

Ini adalah film yang membuat Anda tercekat, jantung berdebar, karena kita semua pasti pernah merasakan dorongan untuk berteriak dan dipahami, meski akhirnya berakhir angin lalu. Sebuah ketakutan primal yang sayangnya, adalah sebuah kenyataan yang dibentuk paripurna oleh del Torro!

Ini Bukan Film Box Office, Tapi Ini Sebuah Film Festival yang Indah

From IMDB

Bisa dibilang sekali lagi, Pria Amfibi bukanlah salah satu tokoh utama dari film ini, melainkan tokoh pembantu yang mengarahkan plot agar pemirsa bisa memahami.

Saya tak memperkirakan Pria Amfibi untuk masuk ke dalam daftar tokoh-tokoh yang begitu diingat, karena saya mempertimbangkan Pria Amfibi hanyalah sebagai penggerak saja.

Karena itu, film ini takkan bisa disandingkan dengan film-film box office layaknya Marvel, DC, atau film-film lain dengan alur plot terukur dan sesuai dengan permintaan pemirsa.

Namun The Shape of Water adalah kumpulan mosaik dari adegan-adegan penuh makna. Seolah album kenangan, The Shape of Water berdiri bukan dari plot yang utuh, melainkan setiap emosi dan juga sikap tokoh yang dibangun dalam merepresentasikan keseharian para pemirsa.

Saya mungkin akan melupakan plot film ini dalam beberapa waktu ke depan usai menulis post ini. Namun saya menjamin saya akan selalu mengingat setiap adegan yang berbeda, meski tak berkesinambungan.

Sedikit Himbauan Tentang Adegan Dewasa

From IMDB

Saya tak menyangka bahwa ada adegan dewasa serta ketelanjangan yang disematkan di film ini, meski tidak eksplisit.

Sayangnya, adegan dewasa ini justru menyimpan sebuah simbolisme terhadap fakta-fakta realita yang tersembunyi di film The Shape of Water.

Bila Anda tidak menyukai adegan dewasa seperti saya, Anda bisa melewatinya, namun Anda mungkin akan kehilangan "Aha!" momen ketika Anda menyadari bahwa apa yang berusaha disampaikan dari adegan tersebut rupanya berkaitan dengan keunikan karakter masing-masing tokoh.

--

Bisa jadi Anda menyukai The Shape of Water, bisa jadi Anda tidak menyukainya. Saya sudah berada di kedua spektrum sebelum akhirnya memutuskan untuk menarik kesimpulan di luar dua opsi tersebut. The Shape of Water adalah sebuah dokumentasi realitas yang dibalut ala film sains ilmiah. Mungkin terlalu membingungkan dan tawar, namun Anda akan mendapatkan kenikmatannya ketika Anda proaktif mencari makna-makna di balik aksi dari masing-masing tokoh yang begitu menakjubkan!

From IMDB

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Terima kasih telah berkunjung. Sila untuk bertandang kembali bilamana saya membalas :)

Instagram