Hari Merayakan Kegagalan: Bagaimana Duka Dapat Dinikmati

Dulu waktu di startup, saat masih dipercaya mengemban posisi sebagai lead content, saya selalu bilang ke rekan kerja saya:

"Kegagalan itu harus dirayakan. Kita punya jatah gagal banyak. Jangan takut untuk gagal."

Jadilah saya selalu meminta teman-teman untuk membagikan 'kegagalan' yang dialami minggu kemarin, dan berdoa untuk teman lainnya di minggu ini.

Tanpa disadari, saya ternyata sudah menerapkan salah satu prinsip dari self-compassion atau kasih sayang ke diri sendiri dari Dr. Kristin Neff.

Photo by Jason Dent

Common Humanity: Membantu Saya Untuk Bisa Melewati Beberapa Tantangan

Common Humanity, sesuai namanya, mengacu pada pemahaman bahwa pengalaman yang kita alami bukanlah satu-satunya yang paling menyedihkan sehingga kita tidak perlu menyalahkan diri kita terlalu dalam.

"Not the same way or the same amount, but the very definition of being “human” means being vulnerable, flawed and imperfect. When we are self-compassionate, we recognize that our suffering connects us rather than separates us from others."  - Dr. Kristin Neff

Saya coba untuk garis bawahi ya: 'melewati', bukan berarti 'melaluinya dengan ikhlas dan bahagia'.

Yah, namanya juga kegagalan, emosi pertama yang muncul adalah sedih dan kecewa.

Saya belajar bahwa tidak ada yang namanya emosi negatif, adanya emosi nyaman dan tidak nyaman.

Pun sama dengan mengalami kegagalan dan tantangan, bukannya saya melewatinya dengan bangga, tapi paling tidak saya tahu apa yang saya alami itu tidaklah memalukan atau menjadikan saya orang paling buruk di dunia.

Kita tidak perlu untuk merasa terisolasi dengan orang lain karena permasalahan yang kita hadapi.

Adalah pemandangan umum ketika kita merasa malu dan berpikir, "Sial, saya paling buruk sedunia karena begini saja saya tidak bisa."

Saat kita merayakan kegagalan, menormalisasinya, kita paham bahwa hal tersebut hanyalah salah satu kejadian imperfection yang mana sangat, sangat manusiawi.

Dalam Perihal Cinta, Saya Bisa Bicara Saya Beruntung, Nyatanya Saya Mengalami Pengalaman Perih

Tak terhitung betapa banyak orang yang mendukung dan mengatakan saya beruntung dengan pasangan saya.

Nyatanya, saya pun tak elak lepas dari permasalahan duniawi yang berujung pada perpisahan kami.

Semua orang bilang tidak ada hari yang tidak baik. Nyatanya, itu karena hari buruk tak pernah ada dalam kalender.

Semua persiapan untuk ke depan luluh lantak dalam satu sulapan.

Saya merasa saya orang paling memalukan di dunia. Bagaimana bisa orang yang 'beruntung' justru malah 'gagal menikah'?

Di sinilah saya menyadari bagaimana "Saya beruntung" = "Saya berbeda" dan akhirnya logika yang sama muncul dengan "Saya gagal" = "Saya paling sengsara/terisolasi".

Tidak bicara soal sombong atau humble, namun kecenderungan manusia untuk menjadi 'istimewa' seringkali melupakan narasi bahwa Anda tidak sendirian.

Butuh waktu bagi saya untuk menyadari bahwa pengalaman yang saya lalui bukanlah hal yang... istimewa.

Ya, ya saya tahu. Pengalaman manusia adalah each to their own. Memang ini sebuah premis yang cocok diterapkan jika kita hendak memperlombakan kesengsaraan.

Namun jika bicara soal 'kegagalan', ada kalanya kita perlu tahu dan paham bahwa banyak orang mengalami kegagalan tersebut sehingga Anda tidak sendirian.

Apa yang saya alami berat.

Apa yang saya alami tidak mudah.

Perlu orang-orang yang berempati tinggi atau mengalami hal serupa agar bisa mengamini bahwa apa yang saya lalui memang tervalidasi kesulitannya. Karena itu, kesediaan untuk menerima bahwa ada orang-orang di luar sana yang juga mengalami hal sama menjadi bantuan terhebat bagi saya untuk merayakan kegagalan ini.

Photo by Trym Nilsen

"Cobalah Menikmati Patah Hati,"

Adalah sebuah wejangan cerdas yang disebutkan oleh sahabat saya, Almira.

Dia mengibaratkan jika ini adalah patah hati terakhir saya. Karena setelah ini mungkin akan mendapatkan hal baik.

Serupa dengan 'jatah kegagalan' yang saya selalu gaungkan kepada rekan-rekan di startup saya.

Otak saya kembali terang. Harapan mulai muncul sedikit.

Tak perlu janji yang tak pasti untuk bisa menikmati hari.

Hanya kesediaan untuk mempersilakan patah hati mampir, itu pun sudah lebih dari cukup.

Saya menikmati proses untuk grieving.

Saya menikmati proses untuk menangis.

Saya mengizinkan tubuh ini untuk sakit dan lemah, tapi tak lupa mengingatkannya untuk makan siang.

Saya mengizinkan jemari ini berdansa dan menulis kisah serta artikel semi-ilmiah yang Anda baca kali ini.

Semua adalah proses menikmati patah hati yang, tentu saja, harapnya tak akan datang nanti-nanti.

Secara Saintifik, Ada Beberapa Cara untuk Berduka atau Menerima Kegagalan

Laman dari Cognitive Psychiatry of Chapel Hill menyebutkan bahwa memang seyogyanya cara untuk berduka dan menikmati patah hati adalah sebagai berikut:

1. Menerima Emosi yang Dirasakan

Fiuh. Salah satu langkah yang sudah saya jelaskan di awal.

Sulit, iya! Karena nyatanya, memang emosi tertentu seringkali dianggap negatif oleh masyarakat.

Padahal, sekali lagi, emosi hanya ada 'nyaman' dan 'tidak nyaman'.

Ada beberapa budaya yang tidak mengizinkan kita untuk bersedih dan berduka.

No.

Silakan buat dirimu menangis dan bersedih! Inilah saatnya untuk melampiaskan emosi-emosi tersebut, karena menangis adalah berkah yang diberikan kepada manusia untuk mengalirkan emosi.

Seperti pipa yang penuh dengan air, namun tak pernah dibuka akan berisiko bocor dan banjir bukan?

Karena itu, bukalah kran tersebut perlahan dengan menangis.

2. Lembut Kepada Diri Sendiri

Photo by Giulia Bertelli

Apakah kamu pernah menghadapi seseorang yang berduka?

Jika iya, bagaimana reaksimu terhadap orang-orang tersebut?

Apakah kamu akan berkata, 'Ya udah bangkit aja lah!'

Tidak. Kamu akan berusaha untuk membantu mereka nyaman, jika kamu benar-benar peduli.

Seperti itulah seharusnya kita memperlakukan diri kita.

Berduka itu sangat berat. Menerima kegagalan itu berat. Jadi biarkanlah dirimu untuk menerima proses yang berat ini dengan caranya sendiri.

Jangan memaksa dirimu untuk 'baik-baik saja 100%' minimal 6 bulan setelah mengalami kegagalan.

3. Kelilingi Diri dengan Orang-orang Suportif

Kamu tidak bisa mengontrol sekelilingmu, tapi kamu bisa memilih siapa orang yang akan kamu tuju ketika membutuhkan bantuan.

Kamu bisa memilih hanya dengan orang tua, atau siapapun ketika kamu berada di titik terbawah. Pastikan mereka mendampingimu, bukan memaksamu untuk bangun seolah tidak ada apa pun.

Ohya, jangan lupa untuk mengizinkan dirimu sendirian dan menikmati kesendirian itu, ya!

Tidak ada salahnya kok kamu menangis sendirian di kamar sambil menyetel lagu-lagu yang mengingatkanmu pada kesedihan itu, kok!

4. Jaga Fisikmu

Tidak ada kata-kata yang perlu ditambahkan pada poin ini.

Ayo habiskan laukmu itu, sobat.

5. Coba Hal-hal Kreatif -- Seperti yang Saya Lakukan

Psikolog saya mengingatkan saya untuk tidak memaksakan diri segera produktif.

Dia bertanya kepada saya: "Apa yang mau kamu lakukan?"

Saya ngotot bilang "Saya tidak mau kerja dulu."

"Tidak ada yang meminta untuk kerja kok. Apa yang mau saya lakukan?"

Saya bilang saya mau menulis. Saya mau berduka dengan menulis.

Maka saya lakukan itu. Dan saya tidak menyesalinya.

Dan semoga, tulisan ini bisa menjadi bukti bahwa hal-hal kreatif seperti menulis, membuat musik, melukis, bisa membantu Anda untuk melewati kesedihan ini!

6. Tentu Saja, Pergilah ke Profesional jika Membutuhkan

Sebagai profesional, saya memahami bahwa ada beberapa kesedihan atau kedukaan yang normal.

Ada pula kedukaan yang perlu untuk menghubungi profesional.

Saya akan selalu bilang: Jika resource yang kamu punya sudah tidak membantu, pergilah ke profesional. Kapan pun itu.

Sekali lagi, tidak ada hari mood buruk di kalender, sama seperti hari ketika grief begitu berat dan tidak dapat diatasi.

Tapi kamu selalu bisa membuat janji temu dengan psikolog, dan meluapkan keluh kesahmu serta mendapat perspektif baru yang bisa membantu kamu untuk menghadapi kedukaan ini.

Lagi dan Lagi, Saya Selalu Ingatkan: Even Psychologist Needs Therapy

Lucu bahwa artikel pertama yang saya tulis sebagai seorang psikolog resmi berlisensi adalah bagaimana saya patah hati dan berduka.

Tentunya ini adalah sebuah bukti bahwa tidak ada yang 'imun' dari masalah psikologis. Jadi jangan takut untuk mencari bantuan, ya.

Berproseslah dengan jujur dan terbuka, karena seluruh tim bantuan kesehatan mental akan membantu Anda untuk menghadapi permasalahan yang ada.

Cheers!

YOU MIGHT ALSO LIKE

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Terima kasih telah berkunjung. Sila untuk bertandang kembali bilamana saya membalas :)