Seni dan Pasar Tak Pernah Jadi Pasar Seni

Besar dengan lingkungan seni tidak semerta-merta membuat saya jago mengamati.

Pergi untuk menikmati sebuah gambar yang seringkali saya tidak bisa tangkap maknanya kecuali membaca penjelasan di box deskripsi.

Mendengarkan puisi-puisi liar yang tak dapat dipenjara dengan interpretasi.

Duduk di trotoar, menyesap es krim rasa bubble gum, dan dengan khidmat menganotasi nada-nada penjelajah dari gitaris di ruang terbuka umum sembari berimajinasi bagaimana bila saya manggung satu kali lagi.

Istilah zaman sekarang: skena banget!

Pun sebenarnya saya tidak bisa menerjemahkan apa yang saya lihat, rasa, dan juga dengar. Saya tahu seni adalah seni, pun demikian wujudnya.

Namun saya tahu seni adalah soal ketidaksempurnaan, yang mana merupakan lawan dari modernisasi yang menuhankan Kesempurnaan dan Konsumerisme.


Menerima Keterbatasan dalam Olah Gerak yang Penuh Estetika

Dalam memperingati Hari Seni Tari Internasional, Surabaya mengadakan pementasan seni tari di Balai Budaya 27 April 2024 silam.

Ini adalah pertama kalinya saya akan menikmati seni tari yang juga rupanya dibalut dengan sensasi teatrikal. Bersama dengan sahabat saya Hazel yang merupakan anak teater, saya dibuat takjub dengan bentuk seni yang sangat jauh berbeda dari yang pernah saya saksikan.

Mulai dari bagaimana blocking para penari bisa memberikan identitas tertentu pada sebuah pentas, narasi, dan tentunya iringan musik yang senantiasa bisa menghidupkan gestur-gestur asing agar bisa semakin diserap dengan baik.

Menakjubkan! Sebagai seseorang yang besar dengan musik, saya mulai bisa menambahkan kosakata ‘olah gerak’ sebagai aspek yang saya sematkan kepada para penari!

Hazel juga menambahkan beberapa aspek menarik: bagaimana otot berkontraksi untuk menguatkan gerak tubuh, lighting yang dahsyat dan mampu memberikan nuansa pada setiap artikulasinya, hingga bagaimana seorang pementas adalah ‘tokoh’ ketika di atas panggung, bukan dirinya sendiri.

Menariknya,

Saat para pementas mulai menampilkan estetika kinestesia, saya menyadari bahwa tiada dari mereka satu pun yang bergerak secara sempurna. Ada lag, dalam hitungan detik antara penari satu dan penari lainnya. Ada pula ketika seseorang mungkin jaraknya tidak begitu jauh dengan satu dan lainnya secara simetris.

Namun tidak mengurangi esensi dari seni itu sendiri. Tidak ada yang akan menegur dan memberi nilai 50 atau 80 (sebagai bukti katrol nilai). Tidak ada remedial.

Yang ada hanyalah tepuk tangan karena sihir agung dari olah tubuh nirwicara yang melebur menjadi sebuah pertunjukkan.

Jika Tuhan adalah Maha Sempurna, Maka Seni Hadir Untuk Merayakan Ketidaksempurnaan

Saya percaya seni adalah soal mewujudkan gagasan-gagasan dari otak manusia yang tidak ada kekang dan kekalnya.

Hal ini diamini oleh salah satu pementas kedua yang menyatakan (sependek pemahaman saya) bahwa seni tari adalah soal mengemukakan gagasan.

Lucunya, saat mendengar persetujuan ini, kepala saya langsung kilas balik ke kutipan salah satu kawan saya yang terkoneksi karena premis ‘anti kapitalisme’.

Beliau berargumen yakni bahwa problem kapitalis dapat dituntaskan dengan ideologi agama karena kapitalisme (dan -isme lain) lahir dari akal manusia, dan tentu akan kalah dengan konsep yang sudah ditelurkan oleh Pengatur Kehidupan.

Dalam jeda waktu yang sangat singkat itu, saya pun kemudian menarik benang merah yang cukup melandasi pikiran saya.

”Jika Tuhan adalah tesis dari Kesempurnaan, maka manusia adalah Maha Tidak Sempurna. Jika seni adalah buah akal pemikiran dan perasaan manusia, maka menikmati seni adalah cara untuk merayakan ketidaksempurnaan tersebut.”


Pasar: Antitesis dari Kebebasan Berekspresi

Tentu, ada banyak pendapat tentang apa itu seni dari para ahli yang sangat bervariasi, sebanyak jumlah karya seni itu sendiri. Namun untuk gagasan kali ini, izinkan saya mengutip dari Immanuel Kant :

“Seni adalah impian karena rumus-rumus tidak dapat mengikhtiarkan kenyataan.”

Sebagai seorang pekerja kreatif, saya kerap kali berhadapan dengan ironi sebuah seni. Seorang penulis yang sudah berkarir 7 tahun dalam dunia content writing, ada set of rules yang mau tidak mau harus dipatuhi agar tulisan tersebut mampu mencapai tujuan yang diinginkan oleh industri.

Saat saya memberikan kesempatan staf magang dulu untuk menciptakan karya awalnya, saya menemukan kesamaan dari semuanya: Khas! Inilah penulisan sebuah artikel yang benar-benar murni, belum dicap oleh tuntutan pasar yang lama-lama akan menjadi ‘so-called ergonomic' atau pun user friendly.

Tentunya di sini saya sebagai seniman dan juga pekerja seringkali merasa tidak nyaman: tidak semua karya murni cocok diterapkan dalam pekerjaan. Saya terpaksa harus ‘memangkas’ bunga-bunga kreativitas tersebut menjadi sebuah pola monoton yang lagi-lagi, demi mencapai KPI-KPI bangsat yang belum tentu saya mendapat bonus karenanya.

Wawasan ini lagi-lagi mampir saat saya kehabisan kesabaran tatkala penonton di belakang saya mengomel, “Nari terus bosenin ah.”

Bosenin. Bingungin. Gak paham. Lagi dan lagi, menciptakan sebuah karya seyogyanya adalah soal ‘membagikan gagasan pencipta kepada penikmat’.

Tapi standarisasi pasar sebagai ujung tombak industri berbasis ‘untung rugi’ menjadikan ‘interest audience’ adalah North Star Metric yang perlu untuk diambil, bahkan dari para seniman sekaligus.

Tidak perlu jauh-jauh: Adanya TikTok dan Reels menjadikan para musisi berlomba-lomba memasukkan hook catchy dari sebuah lagu di awal dan… yah, pokoknya agar bisa terus menerus digunakan di media sosial dan akhirnya, menambah royalty.

"Surga itu kamu, surga itu kamu, anjeng lah kemana sense of music mu biasanya, Liq?"

Tidak Perlu Menjadi Pencipta Untuk Bisa Mencinta

Sahabat saya dan juga seniman, April, menyatakan bahwa untuk menikmati seni tidak perlu menjadi pencipta, karena seniman hanya selesai setelah memproduksi, namun makna akan jatuh pada para penikmatnya. Seni, lebih jauh, bisa memantik sebuah diskusi baik intrapersonal maupun interpersonal.

Jika Anda membaca ini untuk akhirnya “Wah aku mau belajar menikmati seni!”, maka sejatinya saya belum memiliki tips-tips tersebut.

Karena seperti yang saya sebutkan di atas: Pun saya menikmatinya meski tidak memahami apapun.

Emosi, menurut saya, adalah aspek dasar manusia yang dapat dinikmati secara kolektif. Dalam sebuah karya, menurut saya (lagi-lagi), Anda bisa menemukan nuansa apa yang berusaha diberikan kepada Anda terkait karya tersebut.

Benar salahnya bagaimana?

Tidak ada sebuah interpretasi yang benar-benar salah atau benar-benar benar. Hanya seniman tersebut yang memahami apa-apa yang dibuatnya, sedangkan penikmat hanya bisa menerka-nerka.

Kesinambungan antara emosi dan empati itulah yang akan bisa memantik sebuah apresiasi terhadap seni.

Jika seni adalah soal merayakan ketidaksempurnaan, untuk apa kita berlomba-lomba untuk memastikan interpretasi mana yang paling tepat akurat?

Seni, adalah sebuah ruang untuk meleburkan gagasan dan interpretasi, kemudian hanya sekadar duduk dan menikmatinya saja.

Bagaimana menurut Anda? Sampaikan pendapat liar Anda di kolom komentar, yuk.

Cheers,

Marine.

YOU MIGHT ALSO LIKE

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Terima kasih telah berkunjung. Sila untuk bertandang kembali bilamana saya membalas :)