Owning Your Okayness: Memeluk Ketidaksempurnaan Diri

 "Jadi tuh ya, aku nggak jadi ke psikolog ini karena ternyata orangnya nggak nyenengin. Nggak nyaman aja! Masa aku pinginnya X, tapi cara dia menanganiku seperti Y. Bener-bener zonk banget," ucap seorang sahabat saat menyelami kemacetan metropolitan.

Di balik kilatan lampu jalanan, saya tersenyum, memahami bahwa memang sulit menemukan pelayanan jasa yang tepat dan cocok dengan kita, bukan?

Tapi dalam hati, saya kalut.

Bagaimana bila dari sekian banyak orang yang pernah saya bantu secara profesional, ternyata banyak yang berpendapat serupa dengan sahabat saya?

Apakah saya merupakan orang yang tidak kompeten? Atau memang sudah saatnya menyerah saja menjadi psikolog kalau misalnya ada orang yang tidak suka dengan gaya konseling saya?

Apakah memang sejatinya jika kita tidak bisa memuaskan orang lain dengan ketidaksempurnaan, kita gagal?

Ada standar masyarakat tentang sebuah peran

person taking picture of bare trees
Parsing Eye di Unsplash

Tidak hanya menjadi seorang profesional, tetapi memerankan sebuah role yang diberikan kepada kita -- baik itu menjadi seorang manajer, pekerja startup, CEO, hingga sekadar mahasiswa, rasanya ada sebuah 'aturan' atau 'standar yang dijunjung tinggi agar bisa afdol.

Contohnya saja, menjadi seorang psikolog harus ramah, bisa mendengarkan orang lain, dan membuat klien nyaman.

Akui saja, ini mungkin menjadi konsensus atau bayangan sempurna dari seorang psikolog.

Atau kalau misalnya menjadi dokter, berarti harus bisa mengenali penyakit dalam sekali periksa, obat selalu benar, dan nggak boleh bingung dalam menentukan diagnosis.

Apa yang terjadi jika standar-standar alias harapan masyarakat tidak dipenuhi?

"Masa kayak gitu kok jadi dokter?"

Diskusikan ini dengan seorang ibu baru atau new moms, niscaya kamu akan menemukan lebih banyak lagi ketimpangan standar dan harapan yang disematkan, begitu beratnya hingga membuatmu sesak nafas dalam ketidakpercayaan.

Gara-gara media sosial, 'ruang untuk salah' menjadi semakin sempit

Persetan dengan "Nggak papa gagal, soalnya nanti berhasil"!

Karena nyatanya, sekali kamu gagal, banyak yang akan mengabadikannya dalam sebuah media sosial, sehingga nila setitik, rusa susu sebelanga.

Persentan dengan "Namanya juga belajar," kalau ternyata ujung-ujungnya jadi bahan rasan-rasan dan rekomendasi negatif yang disematkan kepada kita.

Lalu apakah peribahasa atau pun anjuran untuk mempelajari kesalahan itu sudah tidak relevan lagi?

Jawabannya: Masih, dan akan selalu.

Hanya saja kapasitas mental yang perlu disiapkan kini bukan lagi menghindari komentar negatif, namun lebih kepada menyadari bahwa diri sendiri adalah manusia.

Memeluk ketidaksempurnaan diri rasanya memang hampir mustahil, ya?

grascale photo of people standing on ground\
Rob Curran di Unsplash

Permasalahan lain yang muncul karena media sosial dan standar masyarakat soal sebuah peran adalah,

Menjadi biasa saja.

Masih berkaitan dengan postingan saya soal slow living, saya menyadari bahwa jika kamu menjadi biasa saja,

Well,

Nothing special, right?

Sama seperti ribuan orang yang berjalan di tengah kota. Nothing stands out.

Media sosial padahal begitu menggambarkan setiap individu unik, berlomba untuk menemukan apa yang istimewa dari dirinya.

Dan lebih lanjut, apa yang membuat peran profesionalnya begitu spesial hingga tidak dapat disaingi oleh pihak lain.

Nggak heran kalau misalnya nggak nemu apa-apa, atau lagi stagnan, akan menjadi membosankan dan merasa hidup gini-gini aja.

Kemarin saya menyadari adanya jebakan kehidupan ini ketika rekan sejawat menemukan berbagai hal yang lebih menarik. Bahkan lebih jauh, dipuji oleh senior lainnya.

Muncul pertanyaan,

"Kenapa aku tidak dipuji?"

"Kenapa mereka istimewa?"

"Kenapa aku hanya bisa begini? Apakah ada yang salah?"

Pada akhirnya, semua itu hanyalah buah dari keyakinan yang salah, yakni harus menjadi istimewa pada setiap aspek, agar bisa memiliki keunikan dalam peran yang kita miliki.

Kita bisa melihat kasus ini di Instagram atau Twitter.

Kalau sebuah opini atau post tidak mendapatkan banyak likes atau retweets,

Mungkin opini atau post itu tidak worth to read, bukan?

Kalau kamu berpikir seperti ini, maka selamat! Kamu sudah terjebak dalam premis "Mediocre is bad."

Owning our okayness means, it's okay to be okay.

Atau mungkin, it's okay to be average. To be mediocre.

Nggak ada salahnya kalau apa yang kita lakukan biasa saja. Cukupan saja.

If it's enough for us, why would we strive so hard, until we hurt ourselves?

Ini bukan berarti kita tidak ada keinginan untuk maju.

Tapi slowly moving with our own timing.

Nggak ada untungnya terburu-buru, karena ujungnya juga hanya menyalahkan diri sendiri.

Dengan kita mulai untuk menyadari titik rata-rata kita, mungkin kita jadi lebih menghargai usaha yang selama ini kita lakukan.

Why owning our okayness is needed?

Kemarin saya membaca sebuah post dari Instagram seorang pria reviewer skincare yang berbunyi, "...Aku kira aku istimewa sebagai laki-laki yang fokus mengulas skincare, tetapi followersku hanya segitu-gitu saja. I'm a failure..."

Beberapa rekan sesama mahasiswi psikologi saya mengeluh, "Kenapa rasanya gini-gini aja, nggak istimewa?"

Teman-teman, dunia ini sudah penuh dengan 'keistimewaan'. Sekarang saatnya kita untuk menjadi 'biasa saja', dengan keistimewaan yang kita miliki.

Ingat, kita tetap istimewa, kok! Tetapi ini bukan berarti kita harus tunduk pada standar yang dituntut oleh orang.

Bukan berarti jika kita tidak outstanding, maka kita tidak menakjubkan.

Terlebih lagi jika kita melakukan kesalahan. Bukan berarti kita gagal dan tak bisa melanjutkan.

5 langkah owning our okayness yang membuatmu lebih tenang

Menyadari bukan tanggung jawabmu untuk memuaskan orang lain

gray computer monitor
Patrick Tomasso di Unsplash

Yuk angkat tangan kalau kita masih merasa tidak enak jika target orang yang kita bantu atau layani ternyata tidak puas atau menunjukkan reaksi yang tidak sesuai ekspektasi. Dalam kasus ini, mungkin ketika klien saya belum mendapatkan insight tentang konseling hari itu.

Awalnya saya merasa bahwa hal ini adalah hal besar: Kacau, gagal, payah. 3 kata yang benar-benar katastropik.

Namun kemudian senior tiba-tiba berkata, "Jangan panik, tenang dulu. Ini bukan berarti kamu gagal. It's just thing turns like this, and it's natural."

Begitu pula pada hal-hal lainnya. Menemukan sebuah ide untuk campaign tanggal kembar, tapi tidak dapat apresiasi? Berusaha untuk mengerjakan tugas sekuat tenaga, tetapi hasilnya biasa saja?

Kesimpulan: All is well. Yang terpenting adalah, kamu sudah berusaha, dan respon orang lain di luar kapasitasmu.

Bahwa di luar sana, ada orang yang mencari dan mengagumimu

Saya tidak bercanda! Di luar sana, ada orang-orang yang berusaha mencari orang sepertimu, bahkan mungkin tidak sabar untuk berkolaborasi denganmu!

Saya bisa mengibaratkan orang-orang ini adalah hidden gems. Mungkin kamu tidak menyadarinya, tapi pasti ada.

Saya ingat sebuah tulisan, bahwa saat menulis, mungkin saja bahwa tulisan kita tidak akan dipuji orang banyak.

Tapi saya yakin, ada 1-2 orang yang mengapresiasi, bahkan mungkin membawa semua pesan dari tulisan saya hingga masa nanti.

Kesimpulan: Jangan meragukan dirimu hanya karena kamu tidak populer. Satu-dua orang yang mengagumimu sudah cukup untuk menjadi bahan bakar kepercayaan dirimu. Jangan percaya media sosial!

Dalam ranah serupa pun, our interest might not fill everyone's plate

broccoli with meat on plate
Ella Olson di Unsplash

Masih serupa dengan topik di atas, owning our okayness berarti menyadari bahwa apa yang kita kerjakan atau yakini tidak masuk dalam keyakinan orang lain.

Mungkin kamu memiliki sebuah aliran seni yang sangat bagus! Beberapa temanmu menyarankan untuk masuk sekolah seni.

Dan ketika masuk, tentu kamu menyadari bahwa banyak orang yang memiliki aliran seni berbeda, dan mungkin...

Beberapa lebih dipuji daripada yang lain.

Kamu tidak salah. Mungkin memang orang-orang saat ini tidak mencari piring berisi aliran seni yang kamu anut.

Kesimpulan: Cari tahu mana komunitas atau lingkungan yang mengapresiasi karyamu. Jangan menyerah hanya karena beberapa orang tidak mengkonsumsi karyamu!

Menulis jurnal kegagalan, lalu tanyakan, "Apakah orang lain pernah mengalaminya?"

Sangat mudah untuk terjebak dalam, "Gue doang yang kayak gini."

Surprisingly, hal-hal konyol yang kita lakukan sejatinya mungkin masuk dalam common mistakes yang dialami lebih banyak orang.

Hanya saja, mereka sih tidak mempublikasikannya. Sehingga kamu tidak menyadari bahwa mereka juga mengalaminya!

Kamu bisa membuat jurnal berisi daftar hal-hal kesalahan atau kegagalan yang kamu alami.

Di kolom samping, kamu tuliskan, "Apakah orang lain pernah mengalaminya?"

Lalu di kolom sampingnya, "Jika tidak, kenapa mereka tidak mengalaminya?"

Kesimpulan: Dari jurnal ini, kamu bisa menemukan 3 hal:

  1. Jika orang lain pernah mengalaminya, tak ada alasan kamu meragukan dirimu menjadi yang paling buruk sedunia
  2. Jika orang lain tidak mengalaminya, kamu bisa tahu mengapa dan mengadopsi cara mereka
  3. Jika jawabanmu sekadar, "Karena mereka sudah jago," maka tanyakan lagi kepada dirimu: Bagaimana saat mereka belum jago? Kesalahan apa yang mereka alami?

Terakhir, we can be someone's hero, NPC, or antagonist, so why bother?

Gampangnya, kita bisa jadi menjadi musuh utama atau pahlawan di hidup orang lain.

Tapi, kita juga bisa menjadi background character saja. Alias bukan siapa-siapa.

And it's really okay!

Kita tidak harus menjadi karakter utama dalam hidup orang lain. Bisa jadi kita sama pentingnya seperti pohon palem yang mereka ga perhatikan, alias hanya background semata.

Prinsip ini bisa membantu kita untuk menyadari bahwa hidup kita tidak selalu dramatis atau heboh. Atau sempurna. Atau apapun itu.

We can just.... live.

Kalau sudah mencoba 5 hal di atas, kamu bisa bagikan pendapatmu, mana yang paling efektif dan efisien membantumu?

Saya pribadi juga masih berjuang untuk owning my okayness.

Jadi sebagai sesama orang yang tidak sempurna, mari kita saling tersenyum dan memeluk ketidaksempurnaan diri masing-masing!

Apakah kamu memiliki pendapat lain? Mari berdiskusi dalam ketidaksempurnaan.

five red apples on white surface
Isabella and Zsa Fischer di Unsplash

1 komentar:

  1. Hanya karena postingan mendapat sedikit likes, bukan berarti postingan itu tidak berkualitas 🙌 agree

    BalasHapus

Terima kasih telah berkunjung. Sila untuk bertandang kembali bilamana saya membalas :)

Instagram