Irasionalitas Situasi Akut #1

Akhir2 ini semakin menyadari kalo saya kebanyakan ngeluh. Dari sekolah yg tidak memberi komformibilitas, ketidakstabilan rekan satu hobi, serta waktu yang bukan lagi menjadi milik saya. Sulit sekali menjadi bahagia dengan menerima apa yang ada.
Mungkin bisa dibahas dari masalah yang pertama, shall we?
Rasanya tidak ada ikatan emosi berarti setiap kali berangkat sekolah. "Tentu saja dis, remaja mana yg suka belajar di sekolah, adanya ya ketemu temen" Tepat, tp bukan itu yang saya maksud. Justru saya tidak menemui lagi hasrat bersenang2 dengan teman. Ya, tidak lagi meledak euforia "Aku mau cerita ini ke X, oh ya mau nagih traktiran si Y!" dan sebagainya. Tidak ada. Semua tenggelam bersama rasa diacuhkan.
Tentu tidak semua; saya bukan tipe orang yang se melankolis itu (well, used to) tetapi rasanya saya sulit sekali menghadapi makhluk yang satu-dua itu. Rasanya letih untuk bertahan.

Masalah kedua. Entah rasa egoisitas yang terlalu tinggi ataukah dasar kepengecutan hati saya tidak tahu. Rasanya rekan satu hobi bukan lagi menjadi moodbooster yang paling diidamkan. Diikat oleh profesionalitas satu pihak. Ataukah saya yang terlalu menarik diri dalam ketidakpercayaan. Lebih ke perasaan sedikit bersalah dicampur tertekan, disertai rasa kekeluargaan yang memudar perlahan. Bukan, bukan. Saya kehilangan seluruh euforia yang dulu selalu kurasakan dalam keadaan yang sama.
Menilik rasionalitas dari sugesti diri sendiri, kukira ini tidak akan bertahan lama tapi semakin lama bergelut dalam diskomformitas ini rasanya semakin pedih tanpa tercipta satu rangkaian harapan sama sekali. Kapankah harus berakhir? Kapan?
Perlahan saya merasa "Apakah aku terlalu banyak mengeluh sehingga saya tak melihat sisi baiknya?" "Apakah aku terlalu rapuh hingga saya mudah dirobek oleh satu-dua subjek yang bahkan asing?" Ataukah memang sindrom pemaksaan diri terhadap situasi tidak mendukung telah sampai batas akhir?

Apakah kesabaran yang ada batasnya, memang benar benar terbatas?