Irasionalitas Situasi Akut #2

Saya mulai bertanya-tanya, dimanakah akal sehat jika perasaanmu berusaha keras tidak menghiraukan?

Selayakanya berkepribadian ganda, dua sosok sedang bertikai dalam ragaku: akal sehat berusaha memuntahkan segala probabilitas serta "Semua akan baik-baik saja"-nya sedangkan perasaan mulai tersembunyi di balik tirai skeptis dan mundur selangkah demi selangkah, takut.


Pernahkah anda merasa berada dalam suatu persimpangan, dimana memilih salah satu saja terasa berat bagi bagian diri anda yang lain? Atau terfisik anda terikat oleh berbagai peristiwa yang mewajibkan kehadiran anda namun pada asalnya anda benar-benar membenci hal itu?


Siang hari ini saya, sedang di titik jenuh paling dasar bersama rekan-rekan kerja, spontanitas mengajak kami untuk bersenda gurau dengan aktifitas yang paling tak terduga : Tarot.
Seorang rekan mengeluarkan kartu (dan juga buku, sebagai pedoman atas kebelum-sempurnaan ilmunya) dan mempersilahkan saya untuk menjajal pertama kali. Pertama.

Dia pun menebar kartu secara linier dan hap! Saya pun disuruh mengambil kartu secara acak sebanyak 5 lembar dan menatanya dalam urutan yang tak boleh salah. Dan setelah menatanya....:

"Kartunya menunjukkan ini berarti kakak blablabla"
"Kartunya ini! Berarti pada masa depan kakak blablabla"
"Wah beruntunglah! Tapi ini blablabla"

Sebanyak lima kali. Saya tidak begitu faham jika dijelaskan secara parsial. Namun ketika dia mulai menjelaskan maksud implisitnya....

"Kak Adis orangnya terkekang dalam diri sendiri ya? Selalu menutup hati dari diri sendiri ya?"

Duar.

Dia seakan berhasil menerobos pertahanan psikologisku yang paling dalam; sisi dimana saya yakin tidak ada yang berhasil menebak sifat serta kondisiku sekarang. Tapi dia melakukannya, dan benar.

Saya sebenarnya telah merasa sejak lama: berusaha menutupi diri dari hati dengan berkata baik-baik saja, padahal saya tahu hati saya merintikkan air mata, rapuh. Saya tak bisa berhenti dengan alasan logis, tetapi selang beberapa kemudian saya sadar bahwa lebih tidak logis lagi membiarkan saya menusuk-nusuk pribadi yang bukan milik saya lagi. Saya kalah. Saya telah termakan duniawi tanpa tahu rohani saya runtuh.


Jasad saya tidak bisa saya kendalikan. Saya telah tersesat. Saya berusaha mengembalikan asal muasal jiwa saya tapi saya tahu itu takkan berhasil sebelum saya berhasil menjodohkan logika serta nurani saya. Saya masih berkelana, berusaha mencari lentera keharmonisan.