Walk Off The Earth: Panderman

Jum'at kemarin (21/06) adalah waktu yang paling ditunggu: RAPOTAAAAN!!! *jengjengjeng*
Itu gak penting buat kalian, tapi berarti buat saya karena nilai saya cukupan dan saya gak nyangka dan setelah saya pikir pikir okeee itu gak penting

Jadi sorenya setelah rapotan, saya sudah merencanakan sebuah pendakian ke gunung Panderman bersama sepupu saya Maya dan pacarnya Mas Ardi yang pecinta pecandu alam. "Kalau rapotmu bagus, ini buat perayaanmu, kalau jelek, ini supaya aku gak sumpek liat kamu di rumah." Begitu kata ayah saya dan kurasa pendakian ini untuk opsi kedua..... Yang jelas izin ortu sudah kelar, langsung tancap gas berangkat dari rumah!

Kami berangkat dari Unversitas Brawijaya (tempat sepupu saya ngekos) pukul 18.30. Jumlah kami berempat (dengan teman sepupu) karena katanya, "Pamali kalau ke gunung berganjil". Perjalanan ke kaki Panderman sedikit mendapat masalah karena macet, lebih lebih karena macet di pom bensin dikarenakan histeria massal naiknya harga BBM. Tapi akhirnya kami dengan selamat tiba di Pos 1 (rumah warga di kaki Panderman) tempat kami menitipkan sepeda motor kami.

Ohya, Gunung Panderman ini tingginya sekitar 2000 meter dengan puncaknya Basundara. Dinamakan demikian karena pertama kali ditemukan oleh seorang Belanda bernama Van Der Maan yang diutus negaranya karena dikabarkan terdapat tambang emas di Gunung tersebut.
"Bukit Panderman", yang gunung ada di baliknya.
Kami pun berdo'a di depan jalan paving menuju Panderman dan mulai berjalan sekitar pukul 19.45. Langit di atas kami mendung namun kata Mas Ardi di atas gunung masih cerah. Alhamdulillah kami tidak mengalami "malam berkabut" karena jika kabut akan sangat mengganggu penglihatan saat mendaki. Sambil jalan Mas Ardi nyemangatin "SEMANGAT!" "AYOO! MBAHMU DULU PERANG COY!!" "MANA SEMANGAT MILITERMU!!" "PUCUK! PUCUK!" *nada teh pucuk -_-*

Sekitar setelah 90 menit kami tiba di Pos 2: Latar Ombo, sebuah lapangan luas dengan ketinggian sekitar 1600 meter. Tempat ini adalah tempat favorit wisatawan untuk bercamping tanpa harus mendaki ke puncak. Kami beristirahat sambil mengemil gula merah di sini (sekedar info, gula merah bisa menjadi sumber energi yang baik, apalagi untuk tubuh yang rapuh seperti fisikku ini)

Kami mulai berangkat lagi, dan perjalanan mulai lebih lama karena kondisi Maya agak sakit dan karena ini adalah pendakian pertama, saya sangat terkejut dengan kemiringan gunung yang mencapai 80 DERAJAT. Saya merosot beberapa kali tapi untungnya pisau McGyver di tangan saya selalu berhasil menancap sebagai pegangan. Selain itu kami beruntung langit menjadi sangat cerah dihiasi bulan purnama....

Sekitar tiga jam kemudian kami pun sampai di puncak, dan malam itu takkan pernah kulupakan: karena tenda minjem, Mas Ardi dan Mas Firman gak tau caranya bikin tendanya. Sekitar setengah jam mikir tenda doang. Akhirnya setelah jadi, Maya memutuskan memasak dan ternyata kompornya rusak jadi kami terpaksa makan mie instan dikremes. Ketika malam mulai dingin, saya bertekad bikin api unggun tapi kami tidak menemukan kayu jadi terpaksa tidur di tenda BIKIN LILIN. Iya, lilin. Dan kami sadar tidak ada yang membawa selimut, malam pun menjadi ajang mental dan tekad melawan dingin.

Sekitar pukul 5 saya bangun dan dengan mengabaikan pori-pori kulit yang berteriak kedinginan, saya turun ke bawah untuk mengambil foto sunrise. Apes, ketutup mendung. Saya pun kehilangan minat dan berniat berfoto dari atas saja.
Suasana Tugu dengan latar sunrise
Pagi yang menyeruak

Alhamdulillah semua menjadi lebih baik saat pagi: Maya bisa memperbaiki kompornya dan masak mi dan susu coklat, udara pun menjadi jauh lebih hangat. Tapi masalah muncul lagi: Monyet. Iya, makhluk berkaki-tangan mirip kita. Apalagi mereka berjiwa gangster; datang berkelompok, Big Bro memimpin dan nekat mendekati kami. Bayangkan, mie kami 3 kali dirampok! Akhirnya kami pun sukarela memberikan sisa kue dan pop mie bekasku. Selain itu, ada juga kera putih betina yang menarik perhatianku.




Maya bersiap-siap masak


Ini nih Big Bro, bosnya para gangster
Yang lain kagak mau deket bung
Kera putih


Hidup di gunung harus survive, euy!
Ketika kami bersiap turun pada pukul 9, kami mengabadikan momen di tugu Basundan yang dibangun oleh para tentara. Kata Mas Ardi, tentara-tentara ini berjalan kaki dari Karangploso sampai puncak SAMBIL BAWA KARUNG SEMEN.


"Dis fotomu gakbisa normal a?"
Saat kami turun, kami baru menyadari betapa indahnya pemandangan di depan kami: Gunung Arjuno dan Gunung Butak saling berlomba kemegahan; kota kota milik manusia yang tampak tidak berdaya dibandingkan gunung; dan hamparan pepohonan meliuk-liuk terkena angin gunung yang menyapa kami.
Oh ya sekedar informasi, kami tidak melalui Jurang Banteng yang merupakan track paling beresiko karena para tentara telah membuat track baru yang lebih aman (menerobos hutan) dan juga karena track tersebut longsor.
Menuruni puncak, terima kasih Basundara!
Jurang Banteng

 
 Vegetasi di hutan Panderman.

"Halo? Emak, saya di Panderman!" Rupanya sinyal hape Mas Ardi kuat juga


Jurang Banteng (sisi lain)
Setelah menempuh seperempat perjalanan, kami baru menyadari kalau gerombolan kera tadi mengikuti kami! Padahal sudah cukup jauh, namun Big Bro tiba-tiba turun dari pohon untuk menghalau kami. Mas Firman yang di depan langsung mundur, Maya mengeluarkan botol kosong untuk pentungan dan saya mengeluarkan McGyver. Tapi paling heboh jelas Mas Ardi yang berteriak "GET THE HELL OUTTA HERE!" sambil lempar tas dan Big Bro langsung kesetanan ngelompat ke atas. Dia langsung ngambil ranting buat menghalang dan kami segera turun menuju track yang jarang ada pohon.
Big Bro penuh nyali!

Tak disangka, walau kera yang lain sudah mundur, Big Bro masih mengejar dan lari menuruni track tanpa menggelayut di pohon. Tentu saja ini di luar perkiraan kami dan dengan beberapa lemparan batu, dia segera berlari ke timur dan tak terlihat lagi.

Ketika tiba di Watu Gede, kami pun segera beristirahat setelah ketegangan para gangster tersebut. Selain itu kami bertemu sepasang suami istri yang berniat trekking (mendaki gunung dan langsung turun tanpa menginap) dan dari mereka kami mengetahui bahwa Big Bro mengejar jika diberi makan terlalu banyak sehingga menjadi manja. Gangster

Jalan di puncak yang curam, kemiringan hingga 80 derajat!
Bazooka do-it-yourself Mas Ardi sukses mengusir Big Bro
Cacing kait, beware ya. Kalau ke gunung WAJIB pakai alas kaki



Could it be? hmm....

Tanjakan Setan
Kami beristirahat lagi ketika tiba di Latar Ombo, saya sempat tidur sejenak dan terkejut karena jarak Latar Ombo ke Puncak cukup jauh, dan lebih jauh karena memutar dan track yang menanjak. Turun dari Latar Ombo menjadi lebih mudah, karena track menjadi landai. Di sisi kanan dan kiri dihiasi oleh perkebunan warga sehingga kesannya lebih "cozy". Mas Ardi dan saya sudah ngefly sambil nyanyi-nyanyi ngelantur dan teriak-teriak "SEMANGAT KORSA! SEMANGAT KORSA!"



Kami tiba sekitar tiga puluh menit kemudian di Pos 1 dan mengambil sepeda kami. Sebuah pengalaman pendakian perdana yang mengesankan. Kembali ke "asal" yang jauh dari hiruk pikuk perkotaan adalah sebuah rutinitas yang pantas diperjuangkan. Dengan berat hati aku pun mengucapkan selamat tinggal pada gunung yang bernyanyi dalam siulan gerimis....

Terima kasih Panderman, terima kasih Indonesia!

2 komentar:

  1. aiiisssh ga ajak ajak ;______________;

    BalasHapus
    Balasan
    1. Looooh gak bilang kalo kamu suka hiking jugak -________- nyaaan kamu juga gak ngajak ke arjuno ;___________;

      Hapus

Terima kasih telah berkunjung. Sila untuk bertandang kembali bilamana saya membalas :)