Diskoneksi



“Assalamualaikum,” kataku menendang-nendang irama. Jantungku meronta keluar dari biliknya. Ia tahu cepat atau lambat aku akan mengalami gagal jantung, ah, atau gagal move on?

Siapa sih yang tidak mau bertemu dengan orang – atau bajingan – yang lama tidak kau temui – atau berusaha menjauh darimu – dan dengan sukarela yang Arjuna pun menjadi kera karenanya ia mengajakmu untuk menelponnya. “Nomer teleponnya si X berapa?” adalah pesan pertama dan terakhirnya yang mampir ke ponsel. Namun Otak yang hobi ngasih wejangan sudah berjongkok putus asa karena si Hati yang egosentris menendang selangkangannya dengan pernyataan “Last chance or never, oi!” dan sensor motorik pun manggut-manggut saja sehingga di sinilah aku, bercinta dengan kotak telepon tua angker yang mungkin genderuwonya saja sudah pindah digerus kapitalisme.

Dan masih berfungsi.

Tidak dapat dipungkiri, aku benar-benar deg-deg an menunggu setiap “nuut” diganti dengan “Halo”. Sejuta skenario mekar sebagai spektrum imajinasi di insting terliarku. Ketika waktu yang dinanti-nanti pun tiba, sebuah suara maskulin nge-bass dari ujung sana seakan mengedipkan mata kepadaku, membuat aortaku bocor dengan endorfin jenuh. Aku pun reflek jungkir balik campur Harlem Shake dan segera terbata-bata berusaha memuntahkan sejumput kalimat, yang anehnya, tak kunjung bicara. Aku merasa budeg – tuli – bahkan tawa gesekan daun yang lagi ajep-ajep sedari tadi kini tak terdengar digantikan oleh sejuta amplitudo dari suaranya yang seakan mengetuk pintu kesadaranku. Karena suara itu begitu jelas, begitu terdengar, dari balik ikat rambutku dan nafasnya yang bau peppermint menusuk  indra perasaku dan aku tak pernah salah!

Ketika kutoleh di belakang, ku lihat dia memegang handphone Nokia 5760-nya yang ketinggalan jaman sambil menggelengkan kepala. Tanpa bantuan verbal pun aku bisa melihat dia melontarkan pertanyaan “Ngapain kamu disini?” dan kulempar kembali pertanyaan itu. “Kos-ku deket sini, tahu.” Jawabnya. Aku melihat kembali matanya yang penuh dengan rasa rindu – atau itu refleksi dari diriku? – dan segera kudekati dirinya. Sambil menahan nafsu untuk memeluknya, aku meneteskan air mata, menunduk. Ia segera menatapku penuh tanya. “Ngapain nangis?” “Kangen, tahu.” Wajahku merah padam kayak tomat yang baru direbus, dia tertawa sambil minta maaf kalau dia selama ini tidak pernah mengontakku lagi.

Kali ini kuberanikan melihat matanya, cokelat penuh kehangatan seperti Rotiboy yang baru keluar dari oven, mengembang dengan harapan dan senyum itu – senyum yang sama saat dia nyatakan ‘aku sayang kamu’ dan juga saat ‘maaf ya kita harus berakhir di sini’ – senyum yang bikin gila! Aku harus menelan ribuan air liur dulu sampai syarafku sadar dari mabuknya dan aku berniat untuk menggenggam tangannya. Dia mengulurkan tangannya duluan! Dengan liberalisme jiwa dan raga sontak aku menggenggamnya,

Dan tiada!

Ia ada, tapi tiada!

Bajul,pikirku. Dimana kamu! Aku berusaha menggenggamnya, tapi melorot terus. Aku mulai meleleh dalam kristal air mata. Dia sekali lagi tersenyum, dan dengan tertawa sinis penuh kemenangan Otak pun twerking sambil mulai memutar bioskop drive thru masa-masa kelam beberapa saat setelah putus. Lho jangan lari! Jangan! JANGAN!




Ending-nya simpel, cuma serangan jantung mini, di kotak telepon di tempat yang sama dan gagang telepon menempel di telingaku sambil bernyanyi “Maaf, nomor yang anda tuju tidak dapat dihubungi.”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Terima kasih telah berkunjung. Sila untuk bertandang kembali bilamana saya membalas :)