Dentuman gitar bass bersenar lima menggema melintasi dimensi ruang cafe itu. Aromanya -- aroma khas kopi, french fries, serta roti berbalut selai cappucinno -- beresonansi dalam keakraban khas warung kopi berbintang, di bawah tenda galaksi bima sakti yang tampak telanjang mata tanpa atap maupun kubah.
Pow, pow, pow
Aku tersenyum sedikit. Aku tadinya tak menyangka akan menemukan hiburan malam berupa musik live di kedai kopi yang bahkan aku baru mengetahui keberadaannya saat lintas sejenak. Kupikir aku butuh istirahat, pikirku setelah berbulan-bulan menguburkan diriku hidup-hidup dalam timbuna lembar makalah yang tiada akhir. Aku pun menempatkan mobilku di lahan parkir yang tersedia dan di sinilah aku, masuk ke kedai itu seorang diri bersama dengan sebuah buku untuk menikmati malam.
Dum, tek tek, dum tek
Snare drum pun masuk dengan lembut bersinkronisasi dengan irama bass yang jazzy. Begitu pula dengan gitar yang disetel clean, juga organ dengan nada-nada futuristiknya.
Aku memejamkan mata, menikmati irama yang tanpa vokal pun seudah bersenandung merdu di jiwaku.
Pow, pow pow
Lama aku memejamkan mata, ketika aku mulai sadar sekitarku semakin riuh karena pengunjung yang baru datang mengeluh akan sedikitnya kursi yang tersedia. Kebanyakan dari mereka datang berpasangan, dan perasaan bersalah mulai menggerogotiku karena meja ini menjadi okupasiku dalam kesendirian.
Seorang pelayan mengarahkan telunjuknya ke arah mejaku kepada seseorang yang belum aku ketahui sosoknya. Awalnya aku yakin ia hanya menunjukkan gestur, 'Lihatah, tidak ada kursi kosong yang cocok untuk kalian!' Tetapi pikiran itu menguap tiba-tiba saat seseorang melangkah ke arahku.
Sendirian.
Pow, pow, pow
Gitar bass masih bermain dengan chopper-nya saat pria yang jangkung -- sangat jangkung -- itu mulai ragu-ragu menatap ke arahku. Kursi-aku-kursi-aku, sambil menundukkan kepala dan melangah perlahan ke arahku.
"Maaf, boleh duduk di sini?"
Aku menatapnya. Wajahnya cukup familiar, tetapi aku enggan menganalisa lebih lanjut akibat otakku yang mendengkur dininabobokan oleh irama jazz. Aku mengangguk malas mengiyakan.
Tetapi ia tampak enggan, menarik kursi dan memutar kepalanya seakan mencari sesuatu. Kemudian aku tersadar kalau ia berusaha mencari tempat kosong untuk menghindari suasana canggung dengan seseorang yang tidak ia kenal. Aku pun mengikuti arah matanya, tetapi nihil.
"Bagaimana kalau kau duduk saja di sini?" tanyaku sambil berusaha tersenyum ramah.
Pria itu terdiam sejenak, kemudian mengangguk canggung. "Kakak tidak main?" tanyanya tiba-tiba sambil mengambil posisi duduk.
"Main apa?" tanyaku balik sambil memicingkan mata.
"Kukira kakak ke sini untuk main di cafe..... Kakak kan...."
Astaga. Dia ini adik tingkatku di kampus. Aku tidak begitu mengenalnya, tetapi aku pernah menemuinya ketika unit kegiatan orkestraku mengadakan simposium musik. Kalau tidak salah dia ikut, tetapi aku lupa sebagai apa...
"Ah, ya, maaf, umm, tidak, aku..." Aku berusaha menyembunyikan kekikukkanku. Lembaran-lembaran tugas kubuka bolak-balik. Ia tersenyum cukup lebar. "Kakak pasti tidak mengenalku kan, hehehe."
Sialan. batinku. Aku paling benci ketika seseorang mendeskripsikan ruang pikiranku secara terbuka tanpa malu.
Pow, pow, pow
Dentuman bass mulai memainkan overtune. Suasananya bertambah riuh. Permainan hi-head drum semakin intens. Tetapi aku dan tamu asingku masih terdiam dalam sunyi.
Terkadang aku yang memulai percakapan, tetapi ia mengakhirinya dengan senyum sambil menatap ke arah band yang sedang beraksi. Terkadang pula ia mencoba bertanya-tanya, kebanyakan masih heran kenapa aku ke sini sendirian. Aku berusaha mengalihkan topiknya. Di satu titik ia mengulangi lagi pertanyaan itu -- dengan nada tidak percaya yang entah mengapa terdengar menjengkelkan di auditoriku -- lalu ambang kesabaranku pun sudah terjun bebas: kulempar pertanyaan itu kepadanya dan menyisipkan ancaman kalau-kalau menanyakan itu lagi kepadaku.
"Kalau aku," ia mulai menjawab; nadanya sama sekali tidak takut dengan intimidasiku. "Mencari ketenangan saja." Ia mengetuk-ngetukkan jarinya sesuai irama lagu.
"Ketenangan dengan musik." sahutku pelan sambil menorehkan pandanganku ke arah musisi yang mulai berganti personil. "Aku paham itu."
Aku tak melihatnya, tetapi aku bisa merasakan sosok jangkungnya menoleh ke arahku lekat-lekat. Aku berusaha untuk memantapkan pandanganku. Aku berusaha lari darinya. Jawabannya terdengar sangat dewasa dan tenang, sedangkan kata-kataku barusan terlempar dengan sendirinya. Aku malu untuk mengakui bahwa aku menyesal melemparkan irama permusuhan ke arahnya.
"Maaf ya kak membuatmu sebal. Aku baru sadar kalau kau sedang sibuk mengerjakan tugas." Ia mengalihkan pandangannya ke tumpukan kertas-kertas di sisi meja.
"Tidak," tukasku. "Tidak masalah."
Pow, pow, pow
Pandanganku masih ke arah panggung ketika para personil baru memperkenalkan diri sambil menyenandungkan intro dan rekan satu mejaku tiba-tiba berbicara "Ini Mi Angelita."
Aku mengangguk-angguk malas, masih dihantui rasa malu dan rasa yang lain lagi.
"Artinya Malaikat Kecilku."
Aku menoleh ke arahnya. Tubuhnya rupanya dicondongkan ke arah panggung, tetapi ia juga seirama menolehkan wajahnya ke arahku. Kami saling bertatapan untuk sementara, dan akhirnya saling tersenyum satu sama lain.
Dum, dum, dum, stsssh
Lama kami berpandangan, sebelum akhirnya aku membuang wajahku. Dengan gengsi yang tertatih-tatih kubangun lagi, aku berkomentar, "Lagu yang menarik."
"Sama menariknya dengan berusaha tidak canggung dengan orang baru." Ia menyeringai tanpa dosa, dan semakin ia menatapku semakin membuatku ingin menggali lubang di tanah untuk kabur dari pesona pria asing ini.
"Heh," ujarku. "Dasar."
Tapi perasaanku sudah membuat surat perjanjian dengan otakku bahwa...
"Yah kan, kakakku kalau telpon nggak pernah tepat waktu!" Ia membuka ponselnya, dan dengan kecepatan yang aku bahkan belum sempat menanyakan 'kenapa' ia sudah menutup ponselnya dan memanggil pelayan untuk tagihan. "Aku harus menjemput dia."
"Oh, baiklah." Aku menoleh sejenak ke arahnya, lalu memalingkan lagi. "Haha, bahkan lagunya belum selesai..." Aku segera menghentikan ucapanku ketika ia menaikkan alisnya, dan menyeringai lagi.
"Setidaknya aku tidak perlu mengganggu lagi dengan pertanyaan-pertanyaan yang membuatmu sebal."
"Aku tidak sebal!" seruku tertahan, menoleh ke arahnya sejenak, lalu ke arah tumpukan buku-buku.
"Ah masa, kakak pasti sekarang pusing karena harus mengerjakan tugas-tugas..."
"Tentu saja. Aku harus mengerjakan tugas-tugas..."
Pelayan datang dan ia mengeluarkan beberapa lembar puluhan ribu dan meletakkannya di atas baki dan bersamaan dengan perginya pelayan, ia berdiri dan memutar tumitnya. Menuju parkiran.
Aku terdiam sejenak. Lagu yang sedari tadi mereka mainkan belum juga berakhir. Aku melihatnya berbelok ke arah kanan, berlawanan dengan posisi mobilku, dan di saat itulah dentuman bass mengajakku berlari mengejarnya dengan langkah kecil dan berburu, lalu
"Kau bahkan belum bilang selamat tinggal atau 'bai-bai'." protesku sedikit terengah. Jarak dari mejaku ke posisiku kini cukup jauh juga. "Mana kesopananmu dengan kakak tingkatmu?"
Ia tidak menoleh: membuka bagasi sepeda motornya dan mengenakan jaket berwarna biru dengan hoodie yang ia kaitkan pada kepalanya. Aku melangkah untuk mendekatinya, tetapi ia sudah berbalik ke arahku.
"Kukira kau tidak ingin kuganggu." Ia menjawab, sambil mengeluarkan kunci sepeda motornya. "Jadi aku berpikir lebih baik aku pergi saja."
"Kata siapa! Aku tidak pernah bilang kalau aku tidak ingin kau gangggu kan!"
"Loh, jadi aku mengganggu ya?" Ia tertawa kecil.
Aku menggertakkan gigi. "Kumohon berhentilah..." Aku menggelengkan kepala. "Tidak lucu, tahu." Aku melipat tanganku. Dan sebelum aku berhasil melakukannya, ia meraih tangan kananku.
Ia menggenggam tanganku dengan satu tangannya.
Dan tersenyum dengan penuh makna tersirat di setiap lekuk lesungnya.
"Aku tidak bermaksud apa-apa, aku hanya bermaksud untuk membuatmu penasaran saja nanti. Mungkin saja besok kau akan mencariku di kampus dan..." Ia tertawa kecil.
"Penasaran? Demi apa maksudmu aku hanya..."
Pow, pow, pow
Dum, dum, tschh
Irama terakhir pun selesai dilantunkan. Tepuk tangan pun bergemuruh di segala ujung ruangan. Para personil membungkukkan kepala, lalu menuruni panggung dengan perasaan lega karena sudah menyelesaikan lagu terbaik mereka. Para pengunjung yang terpuaskan dahaga spiritual pun mengantri di kasir untuk membayar tagihan mereka.
Aku tak ingat kalimat apa yang kukatakan terakhir kali. Antara mencintaimu dan diamlah, aku pun berdiri sambil memandangi telapak tangan kananku, menatapnya pergi dan merenungi janjinya besok untuk bertemu denganku yang diucapkannya dengan menyebut perlahan,
Mi Angelita.
E.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terima kasih telah berkunjung. Sila untuk bertandang kembali bilamana saya membalas :)