Senja mulai bergradasi. Pria itu menyalakan sebatang rokok menthol-nya dan menyandarkan diri di antara "Smoking Area" dan vas bunga berwarna merah. Aku hanya membolak-balikkan buku anti-alkoholik, dan menanti jawabannya.
Tiga puluh detik berlalu. Pramusaji menghidangkan rootbeer dengan buih-buihnya yang menggelora, meronta untuk keluar. Buku di depanku sudah kehilangan daya tariknya, dan aku menatapnya lagi. Ia hanya tersenyum.
"Menurutmu?"
Aku menggelengkan kepala. "Aku tidak mengharapkan pertanyaan balik." ketusku.
"Dan aku pun tidak mengharapkan dirimu mendengus kesal, Bodoh." Menghirup lagi asap rokoknya, ia melanjutkan, "Apa yang menurutmu kami cari?"
"Laki-laki maksudmu?"
Aku terdiam sejenak. Seakan-akan aku tahu jawabannya, tetapi hatiku menolak untuk tahu. Ketika semua orang bisa menjawab ini dengan mudah, lidahku seakan terbelenggu morfin kemunafikkan: aku tahu jawabannya, tetapi hatiku mengumpat tak ingin tahu, tak ingin mendengar. "Kaum laki-laki biadab!" adalah apa yang tertulis di otakku ketika aku hendak menjawab dan mendapatkan insight dari pertanyaan tersebut.
"Kecerdasan?"

Ia menatapku. Sejenak, tajam, membuatku tak nyaman. Lalu mengerutkan dahi. "Kenapa kau menebak itu?"
Kutelan ludahku, berusaha merangkai kata dalam area wernicke-ku. "Karena... Karena pria menyukai wanita cerdas!" Dan lucunya beberapa patah-patah kata terakhirku terempasis bukan karena teriakan, tetapi lebih merupakan bisikan dan hilangnya suara akibat tekanan ketidakpercayaa tinggi.
Tak kusangka ia tertawa. Tertawa begitu lepas hingga terbatuk nikotin cair. "Kau bicara dengan kepercayaan diri yang terjatuh bebas di titik nadir. Seakan aku tak bisa melihatnya saja." Ia meletakkan rokoknya dan membiarkan pupilnya beradu dengan milikku. "Dengar, anak kecil. Ketidakpercayaan dirimu seperti wanita telanjang di antara pria hidung belang. Terlihat dan ringkih. Aku mebebak kau pasti hendak menjawab 'seks'."
Dalam hati aku mengumpat; ia benar. Aku selalu beranggapan yang dicari pria hanyalah kepuasan seperti itu, kecantikan, fisik... Tampilan wanita dengan indeks pinggang 0.7 menyerupai jam pasir? Penampilan muda dan segar? Bukankah itu tertulis di buku pandu salah satu mata kuliah psikologi sebagai Evolutionary Attraction Theory? Dan ketidakpercayaanku menjulang akibat sadar bahwa aku mungkin tidak dapat memberikan hal itu.
Pria di depanku tidak menyertakan gestur menyetujui maupun tidak. Sebaliknya ia malah mengatakan, "Itu kami cari, tetapi itu bukan penilaian kami dalam mencari significant one." Ia menyesap rootbeer dari gelas tinggi dan mendesah lega. Makanan kami belum kunjung tiba sehingga kami menahannya dengan menyantap apa yang ada di depan kami dahulu.
"Kalau kau bilang seperti itu, itu adalah salah satu apa yang kami hargai memang. Ketika seorang wanita tidak dapat memberikan apa yang 'kami cari'," ia merujuk pada pembahasan kami yang aku belum mengetahui jawabannya. "Setidaknya apa yang kau sebutkan tadi dapat menjadi penghibur. Tetapi itu jelas bukan jawaban yang kita bahas di sini."
"Lalu apa?" tanyaku tak sabar. Setidaknya penjelasannya tadi melegakan salah satu bilik di dalam jiwaku.
Terkadang aku membencinya, tapi harus kuakui ia dapat dengan sempurna membuat sebuah gestur yang menyertai superioritasnya. Tidak semerta-merta dijawab, ia menghisap puntung rokok filter-nya dan membumbungkan asap ke udara. Ia tersenyum dalam diam; entah mengejek atau merangkai kata, lalu membuka mulutnya.
"Seseorang yang dapat menyegel kami. Berbagi sesuatu dari apa yang tak kami miliki. Kami buta, mereka penuntunnya. Mereka tuli, kami memberi aksara gestur. Kami tiada sempurna, begitu pula mereka. Tetapi bersama, kami bisa melangkah ke depan..." Ia berhenti sesaat, memandangi wajahku dengan heran. "Kau tak paham?"
Aku menggeleng, masih terpesona. "Kau tak pernah berbicara sebijak itu."
Ia mendengus dan tidak mengindahkan komentarku. "Seseorang yang kami cari itu, well, sebaiknya menarik, tetapi selama ia dapat memberikan apa yang kami cari, ia sudah tergolong menarik. Mereka mampu menjadi sisi lain kami, teman diskusi, menjadi cerdas bersama dan kritis. Dan seseorang itu," Ia menyesap rootbeer-nya sekali lagi, membiarkannya menggantung beberapa menit.
"Kami sebut ballancer."
Sebuah kalimat yang rasa-rasanya menggema ke seluruh ruangan. Siapapun tak mendengarnya, tetapi getarannya sangat kuat hingga siapapun yang mendengar kalimat itu akan sadar kehadirannya. Makna terdalam dari apa yang dicari oleh pria; sesuatu yang infinitif namun terbungkus dengan rapi dalam sebuah kata "ballancer".
"Kau bersungguh-sungguh dengan kata itu? Penyeimbang, cerdas, penuntun... Semuanya?" Aku masih tak percaya. Bagaimana bisa selama ini aku tak menemukan kata itu? Aku selama ini selalu berpikir bahwa menarik secara fisik adalah apa yang dicari dan dimutlakkan. Apa maksudnya ini semua? Dan mengapa aku merasa lega?
"Kau menyadarinya bukan?" Ia memulai percakapan lagi setelah kebingungan melandaku. "Bahwa memang semua pria menyukai wanita menarik, tapi apakah pria itu bersedia menjadikan wanita itu pasangan hidupnya? Tidak? Bagus, karena itu, sadarlah," Ia menatapku lekat.
"Apa?"
"Bahwa di luar sana, di sana, banyak pria yang menghargaimu dan menuntunmu untuk menjadi ballancer-nya. Mereka akan melihat kekuatanmu, kemampuanmu. Karena itu hargai juga mereka. Jadilah wanita baik dan percantiklah dirimu selama kau bisa agar mereka lebih tak menyesal lagi. Itulah yang kami sebut hubungan mutualisme."
Aku tertegun mendengar jawabannya. Jadi selama ini aku salah. Terlalu lama terkekang ketidakpercayaan diri benar-benar membunuhku. Dalam hati aku ingin memeluk pria ini, tapi tahu ia mungkin membantingku ke lantai, aku hanya mengucapkan dengan tertahan, "Huh, terima kasih."
"Tolong ditambahkan tadi, pria yang mencarimu jelas bukan aku." Ia tersenyum sinis.
Sebuah hamparan kata yang baru kugali hari ini. Aku bersumpah aku akan menjadi lebih baik agar tak mengecewakan mereka yang masih harus kucari.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terima kasih telah berkunjung. Sila untuk bertandang kembali bilamana saya membalas :)