Topik besarnya sih mengenai filsuf Perancis bernama Michel Foucault, tetapi yang ear-catchy dari topiknya adalah
'Bahwa bahasa menguasai peradaban, bahasa lah yang menduduki peringkat tertinggi dan bahasa menguasai pengetahuan manusia.'
Well DISCLAIMER: I don't know whether the quote is right or not, tapi intinya kayak gitu. Please gausah pake sitasi dan sebagainya karena blog ini juga tidak kredibel wkwk
Jadi Mas Foucault berpendapat bahwa bahasa adalah tirani dari seluruh universe ini. Sebuah 'definisi'... Sebuah 'makna kata'... Sebuah 'kata perintah'... Manifestasi dari mental imagery manusia yang luar biasa. Lalu dari pemikiran ini muncul pertanyaan yang akhirnya minta izin nge-kos di otak saya:
Tidak, saya tidak bicara mengenai ‘Saya nda isa bahasa ini, saya nda isa bahasa itu, aduh saya canggung kalau mau berbicara dengan bule, dsb.’. Yang saya maksud bahasa dalam tulisan ini adalah pembendaharaan kata. Vocab.... Kosakata.... Konsep linguistic determination menggambarkan bahwa kosakata yang kita miliki mewakili seluas apa pengetahuan kita.
Saya sih merasa.
Saya adalah perempuan. Kenapa? Karena jelas dibuktikan oleh faktor-faktor fisik seperti peeep, peep, dan juga genetis yakni kromosom xy, blablabla. Nah dari sini ‘keberadaan’ saya sudah dianggap dikekang dalam norma-norma yang disebut sebagai ‘Perempuan’. Lalu dari segi budaya: perempuan harus seperti apa? Harus ‘cantik’? Cantik itu seperti apa? Putih? Cerah? Berkulit sawo matang? Gak jerawatan? Kalo saya potong kayak 3-2-1 tentara itu cantik ndak? Saya berkumis itu cantik ndak? Nah lho...
Inilah yang dicoba dibahas Foucault. Sebenarnya manusia dikekang oleh bahasa. Tuhan telah mati dibunuh, kata Nietzsche. Tapi Pembunuh Tuhan, yakni manusia, telah musnah pula. Oleh bahasa. Manusia diperbudak oleh perbendaharaan kata. Jadi kalau ada yang bilang “Mengukur kepandaian itu tidak semerta-merta tes IQ atau UNAS atau SBMPTN”, paling Foucault sih bakal bilang “Lihat saja perbendaharaan kata dan penggunaannya. Diukur menggunakan serangkaian asesmen kuantitatif. Lha selesai kan.”
Nah, pandai itu bagaimana? Definisi pandai itu bagaimana? Muter lagi, deh...
Kasus seperti itulah yang mendorong saya menulis opini yang belum tentu tepat dan mohon, dihilangkan pandangan ‘sok tahu’ karena saya sendiri juga belum terlalu pandai (oke, mari kia berhenti bertanya-tanya definisi ‘sok tahu’ dan ‘terlalu pandai’ karena bisa-bisa saya menulis analisa dari kata-kata di seluruh post ini LOL!)
Saya sering kali cekcok dengan beberapa rekan bahkan sahabat lekat saya sendiri alias W karena adanya perbedaan definisi bahkan hanya dari kata ‘POLITIK’! Beberapa orang awam memandang politik itu kotor, politik itu tak baik, politik itu sampah. Sedangkan W yang notabene mendalami ilmu HI akan memandang politik sebagai hipernium dari sebuah kata yang dapat dibagi-bagi lagi dan memiliki makna yang jauh lebih luas dari sekedar ‘kotor’ maupun ‘sampah’. Nah, dari sini dapat dilihat perbedaan kelas pendidikan dari pemberian definisi suatu kata saja.
Tetapi menurut saya pribadi kekuatan bahasa akan sangat kuat ketika di-upgrade menjadi ‘Disclosure’ atau ‘Wacana’ yang dapat disamakan artinya dengan ‘Paradigma’. Barang siapa memiliki kuasa ia dapat membentuk sendiri definisi dari suatu kata. Barang siapa memiliki kewenangan ia dapat memberikan sebuah label pada orang yang ia inginkan dan menguasai ‘keberadaan’ orang itu melalui definisi label yang ia miliki.
Ambil saja contohnya ‘Anak Jalanan’. Okelah definisi singkatnya mungkin orang di bawah 17 tahun yang tidak memiliki tempat tinggal tetap atau mencari kerja di jalanan, tetapi di tangan pihak yang berkuasa (dalam hal ini mungkin ‘masyarakat kelas atas’ yang menjadi mayoritas ataupun tempat anak jalanan – maaf – meminta derma/bantuan) definisi anak jalanan bisa saja disintesiskan menjadi ‘penderma, pemulung, buangan’. Dengan demikian pihak ‘labelling’ seakan memiliki kuasa atas eksistensi pihak ‘labelled’. Apakah pihak ‘labelled’ mampu mendobrak dan melepas label yang mereka miliki? Tidak! Karena sekali lagi, menghancurkan label berarti konfrontasi langsung dengan pencipta label. Dan hal tersebut hampir tidak memungkinkan, tentu saja.
“Definisi telah mengakibatkan munculnya kaum marjinal.”
-Foucault
Bahasa itu jahat. Bahasa itu setan.
Si W pernah kasih wejangan, “Jangan terlalu suka mendefinisikan hal-hal, nanti kamu terperangkap dalam wacana sebuah definisi.”
Well, ini adalah kritik bagi mahasiswa psikologi terutama karena bertugas mendefinisikan kepribadian seseorang dan secara tidak langsung membatasi, yang menurut Heidegger, disebut otentisitas diri.
Saya rasa W mendapatkan intinya, tetapi kalau kita skeptis terhadap wacana-wacana dan membiarkannya ‘defineless’ juga menurut saya tidak bijak. Wacana yang berlaku di sekeliling kita ini menurut pendapat saya dikendalikan oleh pihak-pihak berkuasa dengan kepentingan tertentu yang bersembunyi dengan tabir ‘definisi’. Mungkin yang terbaik adalah kita sekedar tahu, tetapi tidak membiarkan dirimu termakan oleh wacana masyarakat luas yang mungkin dikendalikan dengan tujuan tertentu. Okelah kamu tahu arti ‘alay’ itu apa, tetapi at least jangan membiarkan dirimu asal-asalan ngecap orang lain ‘alay’.
Untungnya, bapak Foucault mengantisipasi hal ini dengan adanya genealogy, yakni mempelajari asal-usul suatu kasus agar kamu dapat mengambil kesimpulan akhir terhadapnya. Jangan asal pasang label seseorang tanpa adanya pendalaman terhadap dirinya. Hal ini dapat mencegah kita untuk jadi sok tahu dan menjadi tirani atas keberadaan seseorang.
Saya sih setuju saja dengan pernyataan Foucault mengenai definisi mengakibatkan marjinal. Memang pada dasarnya siapa yang punya followers banyak bakal dapat kekuasaan akan mendefinisikan sesuatu.
Bagaimanakah bahasa menurutmu?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terima kasih telah berkunjung. Sila untuk bertandang kembali bilamana saya membalas :)