Seringkali pertanyaan itu terngiang di kepalaku. Saya aneh, saya tidak mengikuti current mainstream, saya bertindak atas dasar keinginan saya bukan opini populer. Tetapi lebih dari itu, what makes you being yourself?
A note reminder for self. Sahabat saya mengirimi itu ketika saya bercerita betapa kini saya antusias dengan fotografi yang tengah menjadi profesi kepanitiaan saya. Well-said, dia mengingatkanku betapa pentingnya kamu memiliki sesuatu yang bisa menggambarkan dirimu apa adanya.
Ya, kalimat terakhir di atas menggambarkan permasalahan yang saya hadapi sejak SMP. Remaja, lebih tepatnya, adalah masa ketika kau mencari jati dirimu. Boleh dibilang pada saat saya SMP saya cukup sukses lah, ikut organisasi ini itu, dikenal guru-guru, prestasi lumayan. Kalo ketemu guru di sekolah pasti diteriakin "ADIIIIISSSSSS!".... Maksudnya antara saya habis melakukan hal nakal atau saya dicari buat ngerjain tugas gitu hehe. Jujur saja saya sempat terlena dengan kehidupan saya yang serasa semulus paha SNSD saat itu. 
Lalu waktu SMA saya hampir kehilangan diri saya. Hantu bernama "tekanan sosial" saat SMA bukan sekedar isu belaka. Mungkin bagi mereka yang
memiliki semua yang didambakan kalangan SMA mendapat keuntungan saat itu, tetapi bagi pribadi yang rebel seperti saya hal itu sama saja seperti ikan Salmon yang bergerak melawan Air Terjun Niagara. Apa yang saya lakukan itu alamiah, tapi itu tidak berhasil di lingkungan saya. Saya dipaksa tunduk pada hukum-hukum rimba SMA dimana ada kasta "Anak keren" dan "Anak cupu". Lucunya, saya malah masuk kaum papa alias kaum ketiga bernama "Anak dibully." Kalau anak keren dipuja, anak cupu dimintain contekan, kalau anak dibully justru melawan hukum fisika sosial: walaupun kamu keren, tapi kalau orang-orang udah kena halo effect bahwa kamu cupu, kamu pasti tetap di-bully.
Di saat inilah musik menyelamatkanku. Bagaimana bisa?
Sejak SMP, saya terlibat dalam beberapa kegiatan bermusik. Saya menemukan sahabat-sahabat dalam musik. Cinta. Kebanggaan. Semuanya. Lalu pada saat SMA ketika saya hampir kehilangan segalanya, seseorang menawari saya bermusik dan saya menemukan teman-teman inner circle saya lagi. Menemukan passion. Menemukan diri saya sebenarnya, bahwa dengan bermusik, saya tidak peduli bagaimana dunia akan bereaksi terhadap saya! Saya adalah Adis yang bermusik.
Saya berhasil melewati tahap Adolescene-nya Erik Erikson melalui bermusik.
Namun pasca pensi sekolah saya vakum bermusik cukup lama. Namun prestasi-prestasi bermusik yang saya raih waktu-waktu terakhir SMA membuat saya pede dalam menjalani tekanan sosial remaja. Ya, yang terpentng adalah bagaimana kamu menemukan identitasmu yang dapat kamu manifestasikan dalam berbagai bentuk!
Dan dari situ saya menemukan fotografi. Bukan bidang baru yang saya tekuni namun saya baru menjadikannya sebuah identitas akhir-akhir ini ketika saya memutuskan untuk melepas identitas musik saya untuk sementara (saat ini itulah keputusan saya). Dan saya bersyukur menemukannya lebih cepat saat saya sedang vakum karena saat ini fotografi telah memberikan energi psyche untuk diri saya. Fotografi menuntut saya memenuhi insting dasar saya untuk menjadi otentis. Ada celah kosong di dalam diri saya yang menunggu untuk diisi dan itu bernama fotografi.
Saya adalah Adis yang berfoto!
Saya tidak sedang membicarakan bagaimana fotografi mengubah saya. Tetapi saya berusaha untuk menyebarkan energi positif bagi ANDA, siapapun Anda, yang mencari otentisitas dan identitas diri dalam menjadi seorang individu seutuhnya. Carilah kegiatan yang mengingatkanmu siapa dirimu agar kamu tidak terseret arus dan menjadi pasif dalam menentukan hidupmu. Carilah suatu energi kehidupan yang akan membantumu merasa lebih baik dalam menjadi diri sendiri. Pencarian memang tidak mudah dan tidak dapat instan, namun prosesnya menyenangkan karena kamu tahu itu adalah hal yang membuatmu lebih baik!
Be authentic and keep original. Be a good vibe and keep up your passion! |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terima kasih telah berkunjung. Sila untuk bertandang kembali bilamana saya membalas :)