Anak Kecil dalam Diri

Tidak terasa tahun ini saya akan menginjak kepala dua. Walaupun orang awam berkata "Halah, usia tidak menentukan kedewasaanmu, santai saja" tetapi bagi saya ini adalah sebuah reminding ritual bahwa saya sebentar lagi akan bertanggungjawab seutuhnya. Resmi. Masa dimana saya tidak akan bisa menengok ke belakang ketika saya bertingkah dan berkata "Aku masih dalam tahap pencarian identitas!"

Saya merasa sedih. Tidak ada lagi kebodohan yang bisa saya lakukan dan dunia mungkin menggerus saya hingga lupa makna kebahagiaan.

Tetapi kesedihan itu justru hilang ketika saya berkelana memburu fotograf di tengah kesunyian alam dan justru bertemu dengan bocah-bocah yang asyik bermain di playground.


Awalnya saya merasa iri dengan mereka: "Bagaimana mereka bisa tertawa dan melakukan hal-hal yang menyulut khawatir orang dewasa tanpa ketakutan?" Mereka berlari, tiba-tiba melompat ala parkour, bergulung di balik pipa, bahkan bermain ayunan sendirian tanpa meminta bantuan seseorang untuk mendorong. Mereka tidak peduli dengan sekelilingnya. Bersama teman mereka tertawa, sendirian pun tak masalah.


Kemudian saya tersadar bahwa mereka bahagia karena mereka mampu mengekspresikan diri. Ayunan sebagai instrumen "Kebahagiaan" pun mereka terima apa adanya tanpa berpikir ada tidaknya teman bermain. Mereka mau mengeksplorasi diri mereka; dari yang mengaku jago salto hingga menyukai seluncuran. Mereka bersyukur. Mereka tidak takut.

Ya, selama ini saya masih selalu takut. Takut salah, takut dilihat orang tidak bahagia, takut dibilang ini itu dan sebagainya. Semakin dewasa manusia diberi kemampuan berpikir lebih lanjut, tetapi kenapa semakin tidak bahagia? Saya bukannya berkata 'bodoh lebih bahagia', tetapi justru karena diberi kelebihan itu harusnya semakin mudah bersyukur dan mampu mengendalikan diri.


Mungkin semakin dewasa manusia kurang berinteraksi secara intrapersonal. Kurang memahami apa sih yang dicari dalam diri dan how to spoil one self. Atau mungkin, bahwasannya semua manusia masih memiliki jiwa bocah dalam diri mereka, namun atas desakan lingkungan mereka membunuh dan menguburya sehingga denial adalah topeng terbaik sekaligus duri besi yang menancap?

Ya.

Saya yakin jiwa anak kecil tidak lepas dari diri kita semua. Ingin bermain, mencari tahu, ingin bahagia. Dan saya menemukannya kembali ketika memfoto mereka. Satu per satu mereka tertawa melihat kamera dan berlari ke arah saya untuk melihat hasilnya. "Kak itu aku! Itu aku!" Saya tersenyum lebar dan justru dengan berinteraksi dengan anak kecil lah saya kembali merasakan semangat mereka.










Masa itu kini telah selesai. Saya menghampiri masa lalu bukan untuk menyesali maupun merengek kembali, namun tidak lain untuk membungkukkan badan dan menghaturkan "Terima kasih atas segala yang kalian lakukan untuk membentuk pribadi saya yang kini telah matang." Tirai dewasa awal tengah dibuka, siap menyambut dengan segala kejutannya. Namun jiwa bocah dalam diri kita - gembira, canda tawa, kesederhanaan dalam bersyukur - semua akan tetap abadi untuk menyulut semangat dalam eksplorasi dunia.

4 komentar:

  1. Tua itu pasti, tapi menjadi dewasa adalah pilihan. Kita ini kenapa ya, waktu kecil pingin segera dewasa, waktu dewasa pingin balik kecil lagi. Oh semoga sehat selalu, Mbak Adis :)

    mampir dong : talaktiga.blogspot.com hehehe

    BalasHapus
    Balasan
    1. That's it hahaha mungkin karena ketika kecil semua fantasi adalah nyata, sehingga menjadi dewasa adalah sebuah bayangan ideal tentang hal-hal yg tidak bisa kamu dapatkan waktu kecil, namun ketika kamu dewasa kamu sadar kamu bahkan tidak bisa berimajinasi lagi. Terima kasih, kamu juga ya Er :)

      Hapus
  2. dewasa itu artinya kaya masuk ke labirin gelap ngga sih mbak, harus tau jalannya dan milih penerangan yang bisa bertahan lama sampai ketemu jalan keluarnya. btw, tulisannya mbak adis selalu keren. semangat terus nulisnya öbak :)

    BalasHapus
    Balasan
    1. Yup bisa dianalogikan demikian juga :) Proses memilih penerangan itulah yang menjadi dinamika kehidupan, apakah sinarnya menyilaukan jalan yg benar sehingga kita tak mampu melewatinya atau justru mengeliminasi jalan yang salah sehingga kebahagiaan yang diharapkan justru cepat datangnya. Terima kasih Shinta, semoga sukses selalu :)

      Hapus

Terima kasih telah berkunjung. Sila untuk bertandang kembali bilamana saya membalas :)