Walk Off The Earth: Coban Rais

Jika biasanya saya berkeliaran mengarungi lautan di pantai selatan, liburan kali ini (Januari 2016) saya justru berputar arah ke utara untuk mendaki gunung melewati lembah ala Ninja Hatori. Liburan singkat akibat piket magang dan kendaraan yang tidak memadai untuk terjun ke dataran berpasir mengarahkan saya dan kawan saya Bayu untuk berkelana menyusuri Batu hingga ujung kabupaten Malang.




Kali ini awalnya kami hanya ingin ke Jalibar, Batu, tempat peristirahatan di jalur lingkar barat yang menyediakan layanan naik kuda ("Dis sumpah aku tuh belum pernah naik kuda, pengen jadi koboi!", ujar Bayu) tapi saat di jalan kami tiba-tiba menemukan pertigaan dengan tulisan:

[Kiri] Coban Rais - [Kanan] Agrowisata

Kami bengong. Untuk ke Jalibar, kami harus mengambil arah ke Agrowisata. Sedangkan Coban Rais... Kami sama sekali belum ada gambaran mengenai Coban Rais selain... coban alias air terjun. Kami browsing pun hanya tampak 'seonggok' coban dengan pepohonan di sekelilingnya. Nah, saya pribadi sih sudah pasti mau ke coban karena saya sudah siap dengan backpack beserta bekal sekalian sedangkan Bayu masih galau. Kemudian saya ceplos bilang "Halah paling juga kuda-kudanya belum makan, sekarang masih jam sembilan, kamu foto pun backgroundnnya gak asik, Bro!" Entah dia setuju atau ngalah karena saya rewel, berakhirlah kami menuju Coban Rais.

Saat kami tiba di wilayah outbound, kami dipungut retribusi sebesar 8 ribu rupiah sudah termasuk parkir. Sesuai namanya, wilayah lapang ini dapat digunakan untuk berkemah dan kegiatan outbound ria (Bahkan sudah disiapkan wilayah masing-masing regu saat bermain) dengan pepohonan raksasa yang sejuk mengelilinginya. Walaupun matahari cukup cerah pagi itu kami tidak kepanasan karena rimbunnya daun menutupi angkasa kami.






Awalnya kami dengan enteng berpikir "Alah jalannya nyantai aja, paling juga habis ini nyampe kayak Coban Rondo" merujuk pada jalanan Coban Rondo yang sudah beraspal dan sangat dekat dijangkau dari lokasi parkir. Namun semakin kami berjalan kami sadar bahwa lokasi yang dituju masih sangat jauh!

Medan yang kami lalui beragam dan dapat dideskripsikan sebagai berikut: Datar - Sedikit berpaving dan menurun landai - Menyeberangi sungai dengan jembatan - Mengikuti arus sungai di atas jalan bersemen - Menyeberangi sungai kecil - Menanjak landai - BEBATUAN DENGAN JURANG DI KIRI JALAN! - Mengarungi (bukan menyeberangi) sungai yang menanjak dengan bebatuan - Menanjak curam - BEBATUAN DENGAN JURANG DI KANAN JALAN! - Menanjak curam - DONE!

Membutuhkan waktu sekitar 1 jam untuk menempuh itu semua. Tepat di medan yang saya tulis dengan kapital saya terperosok hingga hampir terjatuh ke jurang yang agak curam. Hampir beberapa tracknya tidak memiliki jalanan tanah namun bebatuan gunung yang licin bila hujan atau setelahnya. Kebetulan malam sebelum kami tiba hujan deras mengguyur daerah tersebut sehingga bisa dibayangkan kami, dua orang pengelana dengan kamera DSLR di tangan kiri harus bisa merayap tanpa merusak lingkungan maupun diri kami sendiri (pada akhirnya saya memutuskan menyimpan kamera saya, tentu saja)

Jalanan paving berkanopi bambu
Mengenakan sepatu sneakers adalah opsi bodoh: basah oi!





Selama perjalanan kami sempat tertipu beberapa kali "Hee cobannya udah deket nih!" karena suara deras ngebass yang ternyata tak lain hanyalah gaung aliran air sungai yang jatuh di dalam gua. Ketika tampak surai tirta yang mengalir layaknya rambut seorang gadis, kami berdua tak dapat menahan senyum gembira yang dihiasi oleh lumpur dan rerumputan yang tertinggal di pakaian kami akibat jatuh beberapa kali. Terdapat satu tempat duduk yang sudah tak terawat, spanduk bertuliskan "DILARANG MANDI" dan "JANGAN MENGAMBIL AIR TANPA IZIN"; selebihnya Coban Rais adalah permata yang benar-benar alami tanpa ada satu pun peradaban manusia yang tersisa.

Air sungainya sangat dingin dan begitu pula hempasan angin dan buliran embunnya sangat deras, sehingga bagi yang membawa kamera sangat disarankan untuk mempersiapkan perlengkapan untuk mengatasi air menempel dan mengembun di kamera.








Coban Rais memang lebih besar dan lebih sejuk dibandingkan dengan Coban Rondo maupun coban lainnya yang tersohor, tetapi pengunjungnya relatif sedikit sehari-harinya. Ini mungkin dikarenakan medan yang sulit dan membutuhkan fisik prima untuk menyusuri jalannya (total 2 jam pulang pergi) serta harus puas hanya dengan memandangi dan menikmati alam tanpa bermain air di bawahnya (berbeda dengan Coban Rondo atau Coban Putri yang bebas berenang)
Namun pesonanya yang jauh dari peradaban justru memperkuat into the wild dan membantu melepaskan penat dari sibuknya aktivitas.

PS: Ada sebuah cerita lucu tapi setengah kurang ajar, sih. Saat perjalanan pulang kami bertemu sekelompok suami istri mungkin dari sebuah perkumpulan PKK di medan batuan yang licin. Salah satu ibu bertanya "Dek, apa sudah dekat" dan saya bilang "O sudah dekat kok, Bu" Ibu-ibunya memasang wajah lega dan tertawa sambil berujar "Untung ya ampun, punggung kami sudah tidak kuat". Namun senyum mereka hilang ketika saya secara tidak sadar menambahkan "Sekitar setengah kilo lagi Bu..." Usai bertegur sapa, Bayu bilang "He gila kamu, kobisa kamu bilang udah deket!" Saya bilang bahwa 500 meter sangat dekat dibandingkan jarak yang sudah mereka tempuh, kemudian Bayu membuat saya tergelak dengan "Masalahnya mereka pakai high heels dan bawa bekal mau piknik......"

Akomodasi: Dari kota Malang ambil arah ke Batu baik lewat Dinoyo maupun Karanglo. Beloklah ke arah Predator Park dan lurus terus hingga terdapat jalur masuk Coban Putri atau Jalibar. Ikuti jalan naik ke atas, Anda akan menemukan pertigaan bila kiri ke Coban Rais dan kanan Agrowisata. Retribusi Rp 8000,- termasuk parkir. Terdapat kios di kawasan outbound. Disarankan menggunakan sepatu gunung dan pakaian trekking.







Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Terima kasih telah berkunjung. Sila untuk bertandang kembali bilamana saya membalas :)