Tahukah kamu? Bahwa Kristal Api di Timur Jauh memiliki kemampuan menyembuhkan segala penyakit! Ajaib ya! Seandainya kita bisa ambil dan kemudian mereplikasinya...
Tsck tsck. Frei, kamu baca buku anak-anak lagi?
Nggak! Aku baca di koran. Baca saja.
--
--
"Kapan kembali ke sini?" tanyaku.
"Kayaknya Maret aku baru balik." Jawab seseorang di luar sana.
"Oh."
"Gitu aja nih?"
"Hati2."
"..."
Kami berdiam diri selama tiga puluh detik sebelum perempuan itu berkata,
"Ya sudah. Maaf ya mengganggu waktumu."
Klik.
Lama aku berdiri sebelum menutup gagang telepon yang sudah ribut dengan bunyi nit nit-nya.
Frei memang bodoh.
--
"Besok tahun baru kemana?"
Aku menoleh ke pemuda di sampingku. Rambutnya yang hitam kelam mulai dihiasi salju.
"Nggak ngerti." ujarku. "Nggak ada temen."
"Yaelah... Temen cewek kamu mana? Ganteng gini nggak ada ceweknya."
"Dia keluar negeri. Sudah dua bulan." Aku menunduk. Telingaku panas. Wajahku memerah seiring aku berusaha mengalihkan kata 'dia' sebagai Frei.
"Oh, kuliah? Cakep bener... selera Ketua memang beda ya!" Dia menepuk bahuku. Aku berusaha menghindarinya.
"Nggak. Nggak tahu."
"Oh, putus? Maaf deh, ini aku traktir bir kaleng."
"Ben," ujarku ketika menerima minuman yang baru keluar dari mesin. "Cerewet."
Bahkan bir tidak mampu menghangatkan dadaku karena perasaan ini.
--
Nuut nuut.
"Halo... Frei?"
Diam.
"Ini siapa?"
Aku sedikit terkejut. Suara pria mengisi sambungan telekomunikasi.
"Reiheit, Om..."
"Siapa?"
"Rei..."
Suara telepon menjauh, namun aku mendengar gumaman. Telepon dimatikan.
Aku duduk di sofa sambil menengadah. Aku hanya bertemu Frei saat mengikuti tes kuliah di tempat yang sama. Ia kebingungan mencari lokasi ujian dan aku mengantarnya. Rambutnya cokelat dan ikal. Ia sempat memanggilku "Dear" saat aku tahu tidak ada yang mengantarnya dan juga menjemputnya.
"Aku tinggal dengan om-ku." ujarnya terbata-bata. "Mami papi gatau kemana..."
"Oh..."
"Kamu ga suka ngomong ya? Sepatah dua patah doang."
"Aku emang susah ngomong." ujarku. Bibirku bergetar menyusun kalimat. "Kamu juga kalo ngomong satu-satu." Terbata, maksudku, dan aku malu karenanya.
Dia tertawa.
Sayang, dia tidak lolos dan memutuskan berkuliah di tempat yang kurang familiar. Dua bulan setelahnya, kami memutuskan untuk menjalin hubungan romantis meski hanya melalui tulisan.
Di tengah lamunanku, telepon berdering.
"Rei! Gimana kabar!" Suara Frei di ujung menghantam telingaku. Haru dan rindu, juga dipenuhi rasa ingin tahu.
"Baik"
"Aku selalu bersyukur kamu masih utuh hahaha."
Aku diam. Tidakkah dia tahu aku merindukannya?
"Kamu ngapain ke luar negeri?" tanyaku.
"Aku di sini baik-baik aja. Bonekamu dua tahun lalu masih ada."
Dan dia selalu mengalihkan pertanyaanku.
"Kamu masih inget nggak Kristal Api di Timur Jauh? Yang aku bilang di chat beberapa minggu lalu."
Aku mengagguk dan tetap diam.
"Kalau ada waktu... titip ambilin dong. Hehehe. Sebelum kamu mau tanya kenapa, aku jawab dulu: kepo!" Ia tertawa lega.
Aku tersenyum. Dalam hati aku selalu menikmati setiap candaannya.
"Iya aku ambil." janjiku. "Tahun baru aku ke sana."
"Asik." Aku membayangkan ia tersenyum di balik telepon. "Makasih!"
"Frei..." Dia terdiam. "Aku kangen kamu. Pengen keluar di tahun baru..."
"Sampai jumpa! Hati2 ya!" Ia memotongku. Sempat ada jeda sebelum telepon terputus.
Aku memukul dinding apartemen.
Lagi-lagi aku masih mencintainya walau ia menelantarkanku.
--
Pesawat mendarat setelah tiga jam mengangkasa. Ben yang tidak memiliki rencana saat tahun baru memutuskan menemaniku. Aku tidak keberatan; aku sudah terbiasa mendengar ocehannya yang tak henti sehingga tiga jam ia berteriak histeris tentang legenda pulau ini tidak berarti apapun.
"Tuan, silakan kenakan jaketnya. Suhu mencapai minus tujuh derajat celcius."
Timur Jauh adalah sebuah pulau dengan geyser dan pegunungan yang membentang sepanjang empat puluh kilometer. Musim dingin memeluk pulau ini secara permanen, sehingga suhu berkisar di bawah nol derajat.
Pulau ini juga yang mengantarkan Frei dan aku memahami satu sama lain.
Tidak ada yang kami bicarakan kala memulai hubungan. Aku bukan tipe orang yang bisa mengangkat topik, dan ia pun tiba-tiba menceritakan tentang keinginannya. Sebuah petualangan imajiner berlatar di sebuah pulau yang dihiasi pengunungan bersalju. Tentang sebuah harapan bahwa ia bisa keluar dan sembunyi dari derasnya waktu; yang begitu kejam dan merebut semua kebahagiaannya. Tentang Timur Jauh, pulau kecil tujuannya pergi dari rumah dan memulai hidup baru tanpa menyeret jejak masa lalu.
"Aku ajak kamu kesana," ujarku melalui tulisan. "Aku ajak kamu berbicara."
Ia terdiam, setidaknya tiga puluh menit sebelum pesannya masuk.
"Kau tak pernah bicara banyak," tukasnya. "Bagaimana kamu mengajariku berbicara?"
Sebuah klise yang diungkapkan setiap pangeran. "Kepercayaanmu."
Dua tahun setelah itu, aku di sini. Sebuah lansekap magis yang seolah melukis kalimat yang pernah Frei ungkapkan. Aku tak memahami alasanku; kenapa aku mengiyakan keinginannya? Kenapa aku mau pergi ke sebuah tempat hanya karena dia mengimajinasikannya?
Mungkin karena aku begitu mencintainya, atau aku begitu kesepian hingga aku berusaha mencari cara untuk memeluknya kembali. Melalui memori yang telah diucapkan.
Tiga jam melewati lembah dan pekarangan warga, aku tidak mengindahkan instruksi pramuwisata. Saat istirahat, aku berpisah dan berharap Ben tidak menangkapku. Ingatan menjadi panduan satu-satunya dalam menemukan Kristal Api yang Frei cari. Tiga pohon, dua rumah tua... Semua kuingat bagaikan lirik lagu yang mendentum dalam irama yang penuh afeksi. Semua hanya keyakinan; aku yakin bahwa Kristal Api ada dan aku yakin... bahwa semua ini akan terbayarkan. Kehebohan pun tampak ketika aku kembali. Ben tampak resah, ia menggumam mengenai 'Keamanan' dan 'Tidak ada lagi ketua sepertimu'. Aku hanya tersenyum.
Di bandara, aku tidak memilih pulang. Aku menorehkan nama di tiket pergi menuju destinasi berbeda. Bingkisan cantik kupegang erat dilenganku; aku tak ingin mengecewakan Frei.
--
Angkasa begitu kusam kala kupandang dengan mata sendu. Seolah meninggalkan alur yang mengarahkanku kepada insekuritas yang aku sembunyikan dalam lubuk terdalam. Setiap menit berlalu bagaikan coretan tinta di atas kertas yang gagal; aku takut menemuinya.
Bagaimana bila ia sudah tidak mencintaiku?
Bagaimana bila ia sebenarnya kabur agar tidak menemuiku kembali?
Semua kutepis dengan logika dan anggur kaleng. Tidak, bila ia tidak menginginkan kehadiranku, harusnya ia pun tidak melontarkan satu dua patah kata. Terlebih ia mendorongku untuk mencari Kristal Api. Aku bersandar pada jendela. Syahdunya matahari yang terhalang kabut tidak juga mampu memusnahkan kegalauan yang menetap.
"Ini," ujarku terbata. "Untukmu."
Aku mengulangi kalimat itu selama berpuluh, ratus, hingga otak kehilangan kapasitas untuk mengingat. Lima jam perjalanan sudah cukup untuk memastikan bahwa aku bisa mengatakannya. Secara verbal, secara nyata. Aku akan membuktikan aku bisa mengajarinya bicara, sebagaimana dia bisa membantuku mempelajari lebih banyak kosakata. Reiheit yang terlahir dengan gangguan bahasa ekspresif, mampu bertahan di bangku kuliah sastra. Semua diukir oleh loyalitas Frei yang tak henti memaksaku melahap kamus setiap hari.
Aku menghubungi nomor Frei.
Nuut, nuut. Tidak ada jawaban.
Kucoba sekali lagi.
Nuut, nuut.
Aku duduk di sebuah halte. Sebuah negeri yang tak kukenal dan aku terjun ke dalamnya. Aneh, sedikit pun aku tidak menyesal datang kemari.
"Rei?"
Sebuah suara pria menyambutku dari sana. Jantungku berdegup kencang.
"Sore, Om... Frei?" Aku menelan ludah. Aku tidak melatih ini sebelumnya.
"Kamu dimana?" tanyanya kembali. Suaranya bergetar; ia terdengar khawatir.
"Di tempat Om..."
Pria itu terdiam dan berbicara dengan orang lain. Suaranya terlalu jauh, aku tak bisa mendengarnya. Kecemasan seolah menelanku perlahan.
Bagaimana bila Frei tidak mau menemuimu?
"Kamu ambil taksi di halte itu..." Pria itu memberikan instruksi perjalanan. Tidak terlalu rumit, aku menyadari keterbatasanku dalam mengingat sehingga setiap kata yang kudengar segera kuterjemahkan dalam tulisan. Pria itu juga mengajariku bagaimana berbicara dalam bahasa asing agar sampai ke tujuanku nanti.
Telepon ditutup. Aku mencari taksi yang diminta.
Ketika kendaraan berhenti, aku mendapati diriku di pekarangan sebuah rumah yang indah. Atapnya berwarna biru tua dengan dinding rumah dihiasi biru muda dan cokelat. Tidak ada pagar kecuali pembatas taman. Aku mulai mengetuk pintu kayu.
Pintu dibuka.
"Rei?"
Itu bukan Frei.
"Kau Rei, bukan?"
Wanita itu mengulang pertanyaannya. Tinggi, berambut merah, dan... bermata sembab. Aku tak bisa menemukan kalimat yang cocok jadi aku hanya mengangguk.
"Maaf." Ia menangis. "Maafkan aku...." Ia belum mengizinkanku masuk, tetapi ia menarik tanganku dan mengajakku ke sebuah ruang makan dengan jendela lebar di kedua ujungnya.
Aku hanya mengangkat alis ketika menemui tiga orang yang sama sekali tak kukenal.
"Maaf," ujar seorang pria yang duduk paling ujung. Ia memintaku untuk bergabung di meja makan. Gadis berambut itu masih menangis, dan ia sesekali meneriakkan "Maaf," "Bohong," dan "Sumpah". Seorang wanita paruh baya yang kuasumsikan adalah ibu dari gadis itu segera memeluknya.
"Nggak paham..." ujarku terbata-bata sambil menggeleng. Aku benar-benar tak tahu apa yang harus kulakukan, bahkan berkata. Udara terasa begitu berat oleh kesedihan. Cerahnya sore hari tidak mampu menetralisir mendung yang mengendap di dalam rumah.
"Frei sudah tidak di sini." ujar pria itu. "Frei... sudah tidak di dunia ini."
Aku berharap dalam satu kedipan mata aku masih ada di pesawat.
"Sudah sejak dua bulan lalu."
Ketika singa mengaum, kau mengenainya sebagai sebuah kemarahan. Tetapi kau tak pernah tahu bahwa mungkin saja ia bersedih.
Setidaknya itu pembelaanku ketika aku menghantam kaca jendela saat itu juga. Aku ingin menangis, tetapi tanganku berkata sebaliknya. Agresi adalah sebuah aksi yang mampu menyembunyikan ketakutan dan kesedihan. Kau takkan pernah tahu apa yang ada di hati seseorang yang marah. Namun mereka tidak marah, tidak sedih. Gadis itu justru mendekat untuk memelukku tetapi aku terlalu takut dengan sentuhan manusia saat itu.
Perlahan mereka mendudukkanku kembali. Segelas jus jeruk tidak mampu meredakan panas yang membuih dari telingaku.
Setelah lima menit, sebuah kalimat mampu menyelip melalui mulutku.
"Gimana bisa..." ujarku. "Dia ngobrol?"
Pria itu menunduk dan melihat wanita paruh baya yang segera mengangguk. Ia segera beranjak menaiki tangga. Gadis itu masih melihatku, aku merasakan pandangannya. Aku masih sibuk berdamai dengan logikaku.
"Hei, Rei."
Sebuah suara yang kukenal berbisik dari balik pintu.
"Tahukah kamu? Bahwa Kristal Api di Timur Jauh memiliki kemampuan menyembuhkan segala penyakit! Ajaib ya! Seandainya kita bisa ambil dan kemudian mereplikasinya..."
Air mataku pecah ketika aku melihat sebuah recorder yang dibawa wanita itu berputar. Suaranya, tawanya, getir di suaranya... Semua bersatu membentuk eksistensi utuh yang maya dalam bentuk digital. Tanpa sadar aku mengangkat tanganku dan berusaha meraih recorder sebelum aku tersentak bangun bahwa ya, inilah akhirnya. Frei sudah tidak ada.
"Tiga bulan lalu dia terkena leukimia." ujar wanita itu. Di luar dugaan suaranya benar-benar mirip dengan Frei. "Kami merawat Frei sejak kecil. Orangtuanya pergi dari rumah dan tak kembali. Kami sama-sama sibuk, sehingga tidak mengenal Frei lebih dekat. Frei tak pernah memiliki teman... hingga bertemu Rei."
Aku mencoba menghentikan isakku untuk mendengar kalimatnya lebih jelas.
"Kami... kami tidak tahu kalau Frei bisa berbicara."
Aku gagal. Aku semakin terisak.
"Selective mutism... Kami baru mengetahuinya ketika Frei masuk kuliah. Dia mulai bisa berbicara ketika bertemu denganmu... Tidak," wanita itu menggeleng. "Sampai saat itu pun, ia hanya berbicara denganmu Rei. Ketika di telepon, ia hanya bicara denganmu. Kami terkejut ketika ia duduk di telepon dan berbicara denganmu... dengan kalimat terbata-bata, tetapi ia bisa. Frei tak pernah berbicara dengan kami kecuali melalui raba dan gestur."
Aku memutuskan untuk memecahkan semua tangisku. Wanita itu berdiri dari tempatnya duduk dan memeluku. "Hingga suatu hari... Ketika ia terkena leukimia.... Ia meminta kami sebuah recorder. Sejak saat itu setiap hari ia selalu merekam suaranya, percakapan yang ia imajinasikan, setiap hari. Frei tak pernah bicara di depan kami, tetapi saat itu ia menunjukkan bahwa semua interaksi yang ia inginkan... Kau telah memenuhinya. Bahkan meski itu hanya bayangannya saja..."
Aku mengangkat bahu, meminta wanita itu berhenti memelukku. Perlahan kuraih recorder. Dingin. Kuputar rekamannya.
Suara yang menggema hingga ke dalam ruang jiwa. Aku mendengarkannya dengan seksama.
"Kami memutuskan untuk mengirimkannya setiap hari kepadamu ketika Frei sudah tidak mampu mengangkat telepon. Ia tidak ingin membuatmu bersedih, karena itu ia tidak bilang kalau dia di luar negeri untuk berobat." Pria itu menhela nafas, tampak rasa bersalah di setiap tarikannya. "Dua bulan lalu, kami memutar rekaman itu. Rekaman yang ia buat ketika pertama pindah. Bagaimana ia menyukai negeri ini, dan lainnya. Karena itu mungkin kau mengira ia pindah sejak 2 bulan lalu..."
Malam itu aku tidak bisa tidur. Sebuah ruang inap tamu yang nyaman pun hanya meninggalkan duka. Setiap detik, menit, jam aku hanya terpaku mendengarkan rekaman suara Frei. Aku sudah membuang Kristal Api di tempat sampah sejak sore tadi. Tidak ada kalimat yang keluar dari mulutku sejak kemarahan tadi. Tetapi mereka semua seolah terbiasa dengan kesunyian Frei, sehingga memahamiku dan tidak mengusik ketenanganku di kamar ini.
Sebuah hantaman transparan yang nyata. Mengoyak lidah, menghancurkan semua kosakata yang kususun rapi dalam kapasitas otak yang terbatas. Aku hanya bisa mengeluarkan nafas malam itu betapapun aku kerasnya berusaha, sehingga aku meminta Ben untuk membantuku menemui terapi wicara ketika aku kembali. Alunan suara Frei meninabobokanku di malam tanpa bulan itu.
Tuan rumah menawariku menginap lagi untuk esok hari, tetapi aku sudah memesan tiket pulang. Sebuah perjalanan yang singkat namun penuh duri. Aku hanya meminta rekaman ini untuk kubawa pulang. Taksi mengantarkanku ke bandara dan tanpa basa-basi aku segera duduk di bangku jendela pesawat untuk mengusir sepi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terima kasih telah berkunjung. Sila untuk bertandang kembali bilamana saya membalas :)