Di depannya, hamparan laut menantinya dengan
gelombang yang dahsyat.
Bulan bertengger di pucuk cakrawala,
dan langit berkilaukan kartika,
sebuah azimat dari jiwa-jiwa
yang hilang.
Pria itu menghitung,
satu, dua tiga,
hingga angka kehilangan makna,
lidah kelu tak dapat menyebut sebuah bahasa.
Dipeluk siklon, pria itu terdiam,
mempertanyakan dirinya,
dan mulai meraih percikan asa
yang mulai meredam, merenggang
hingga tak dapat terbaca.
Raganya mulai bersulam kecewa.
Sebuah visi tentang masa depan
yang hilang
dan
merajalela.
Kau terdiam, kau terdiam.
Untuk berapa lama, kau tetap diam.
Menjadi saksi bahwa sebuah massa yang mulai melayang,
mulai menjadi perlambang.
Tak sekiranya pria itu menyadari
kau di sana, berusaha memutus ketegangan.
Namun pria itu masih bersikukuh,
begitu teguh
hingga kau hanyalah cangkang kosong yang
mengisi
ujung pelupuk sukmanya.
Kau masih diam saat ia merintih kesakitan,
meneriakkan nama-nama yang seharusnya
menolongnya
saat ini.
Tidak ada namamu.
Dan kau menutup matamu.
Usahamu sudah cukup untuk mendorongmu dalam
kesedihan
yang lebih
pekat.
He did not know for so long,
that you were there all along.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terima kasih telah berkunjung. Sila untuk bertandang kembali bilamana saya membalas :)