Benarkah aku tidak mau membaca buku ini? Kenapa?
Pertanyaan itu menggema di dalam kepalaku setiap 3 menit. Buku di depanku hanya terdiam, sesekali halamannya mengayun terkena angin jendela. Tapi benakku melontarkan banyak sekali kata-kata.
Aku mendapat buku ini dari seorang kolega saat kuliah. Beliau memberiku 3 buku dari penulis yang sama dengan tema serupa. Yang pertama adalah mengenai kisah penulis yang baru ditinggal istrinya meninggal dan berusaha mengasuh anak semata wayangnya sendiri. Yang kedua adalah tentang seorang wanita yang baru menikah dan menceritakan masalah-masalah yang ada di pernikahan namun dijawab lembut oleh suaminya.
Yang ketiga.... yang ketiga adalah buku ini. Ditulis dengan sistematika per bab, masing-masing bab terdiri dari 3 halaman berisi suara hati melankolis dan problematis. Setiap bab menceritakan hal berbeda yang sejauh saya baca terlepas dari bab-bab sebelumnya.
Lalu permasalahannya adalah?
Buku pertama menarik. Tidak jarang aku menangis membayangkan perjuangan seorang ayah yang kuat merawat bayinya tanpa bantuan seorang istri. Buku kedua... ehem, menarik karena tokoh istri mirip denganku dan tokoh suami mirip dengan Dear. Buku ini memberi banyak sekali wawasan mengenai permasalahan pernikahan yang sangat sepele namun memang perlu penanganan tersendiri. Entah memang hampir semua wanita dan pria serupa dengan tokoh di dalamnya, aku beruntung mendapatkan ilmu khususnya adab istri dalam rumah tangga di agama yang kuanut.
Lalu buku ketiga.
Seperti yang sudah kujelaskan, buku ini menyampaikan "Suara Hati" yang kadang terpendam dan tersirat. Topik yang berbeda-beda mungkin dapat mewakili perasaan yang berbeda.
Masalahnya, topik yang dibahas adalah seputar hubungan dua insan yang saling mencinta dan mempertanyakan sebuah kondisi yang menurutku... tidak berkaitan dengan kondisiku sekarang.
Sayangnya, semakin dibaca, semakin mengajakku mempertanyakan hal-hal yang tidak bermasalah.
Ambil contoh suatu bab yang garis besarnya mempertanyakan "Apakah iya sebuah ketenangan artinya baik-baik saja? Bagaimana bila ada masalah?"
Langkah pertama: Tidak apa-apa TIDAK menyukai sebuah buku
Apakah ada yang pernah kepikiran peraturan di atas?
Kadang kita lupa bahwa seperti musik, buku pun ada yang disukai dan tidak disukai. Okay, kalau kosakata "suka-tidak suka" terlalu polaris, bagaimana bila "favorit-tidak favorit".
Masalahnya, kadang-kadang kita terdorong untuk menyelesaikan sebuah buku. Alasan seperti "Nanggung", "Sudah terlanjur", atau "Nanti dikira pilih-pilih buku, lagi" sudah menancap di pikiran.
Aku kira, alasan tersebut berakar pada ketakutan kita dilihat oleh orang lain. Apakah buku tersebut sudah diselesaikan atau tidak.
Coba refleksikan diri, apakah ada orang lain yang tahu kamu membaca buku itu? Bagaimana bila mereka tahu kamu tidak menyelesaikannya?
Takut, bukan? Entah pikiran apa yang muncul.
Bagaimana bila memang itu bukan buku yang kamu suka? Bagaimana bila kamu tidak tertarik?
Hey, setidaknya kamu sudah mencoba membaca kan? Orang lain tidak berhak untuk menghakimi karena kamu tidak menyukainya.
Dan lagi, memang kamu membaca untuk siapa, sih?
Langkah kedua: Kenali alasanmu tidak menyukai buku itu, dan BERDAMAILAH
Entah karena bosan, tidak mood, mengancam, atau memang lupa ceritanya sehingga sudah lama tidak kau baca.
4 alasan di atas mewakili perasaanku saat membaca buku ini. Aku memulai buku ini pertama dibanding 2 buku lainnya, sebelum kuputuskan untuk menutup buku dan membawanya pulang ke rumah, bukan menyimpannya di kos-ku.
- Bosan: Buku ini repetitif, melankolis, dan tidak nyambung. Aku jadi bingung dan tidak relate
- Tidak mood: Buku ini menurutku tidak bisa kukaitkan dengan perasaanku di dunia nyata. Misal, aku sedang bahagia dan tidak apa-apa dengan hubunganku. Kenapa mereka menangis? Kenapa mereka bersedih? Tanpa alasan, tidak ada alur. Aku kan bingung.
- Mengancam: Jujur, buku ini mengancam kewarasanku. Aku punya kecenderungan kecemasan tinggi, dan membaca buku ini berarti mengajakku mempertanyakan hubungan yang kumiliki sekarang yang padahal tidak apa-apa atau setidaknya, tidak sedrastis yang dibayangkan buku ini.
- Memang lupa ceritanya: Setelah kuputuskan berhenti, ada jeda sekitar 2 tahun sebelum melanjutkan membaca. Hari ini, dengan niat tinggi membaca buku ini, aku terdiam. Aku tidak paham kenapa aku berhenti membaca sebelumnya, dan kini aku mulai paham karena aku tidak tahu apa-apa.
Ketika aku mulai membaca lagi, perasaan tersebut tetap muncul. Awalnya aku mencoba menolak perasaan-perasaan tersebut. Tapi kontra terhadap perasaan yang tidak kau sukai tentu tidak mudah.
Bahkan melelahkan.
Bagaimana bila aku menerima kenyataan bahwa memang buku itu membuatku merasa 4 hal di atas?
Bagaimana bila memang target pembaca buku itu bukanlah aku?
Ya sudah, kan? Memang kamu tidak perlu membaca buku itu, karena memang bukan ditujukan untuk kamu.
Langkah ketiga: Menyadari bahwa membaca bukanlah sebuah kewajiban
Aku punya target di tahun ini, setidaknya aku membaca sekitar 10 buku.
Jumlah itu rasional mengingat pada tahun 2016 aku menghabiskan sekitar 1 juta rupiah untuk membeli buku impor di bazaar Big Bad Wolf Surabaya. Dan sekarang masih menumpuk di kos. Belum lagi bazaar buku lain yang menyediakan buku bekas maupun baru dengan harga miring. 2016 memang tahun buku, ya?
Target itu perlu. Alangkah baiknya membaca buku, kau akan menemukan jutaan jawaban afirmatif dari Google bila mencari "Manfaat membaca buku".
Yang perlu diperbaiki adalah mindset-nya. Membaca buku bukan kewajiban. Tapi kebutuhan.
Bagaimana kamu bisa membaca bila buku itu bukan yang kamu butuhkan?
Efisiensi dalam bekerja mengalahkan usaha yang tidak terkira. Mengapa? Karena usaha yang kamu lakukan tepat sasaran. Sedangkan usaha tidak terkira... Bagaimana bila hanya dapat capeknya saja?
Kira-kira itu yang kupahami dari membaca buku ini. Buku ini tidak, atau belum, kubutuhkan untuk saat ini. Aku sedang membutuhkan buku self-development atau yang memiliki alur cerita.
30 halaman pertama dan aku belum menemukan yang aku cari. Sekeras apapun usahaku mencintai buku ini, tetap saja aku akan berakhir membaca kata-kata yang tercetak layaknya mempelajari bahasa yang belum kupahami.
Oleh karena itu, bacalah yang kau butuhkan.
via GIPHY
Langkah keempat: Berhenti show-off di Goodreads dan menulis hanya bila sudah selesai
Layaknya tersambar petir, aku terdiam ketika menyadari aku takut berhenti karena aku sudah terlanjur menulis buku ini sebagai "Currently reading" di Goodreads.
Sekali layar terkembang, surut kita berpantang
Kira-kira begitulah perasaanku saat mengetahui bahwa aku harus menyelesaikan buku ini karena aku sudah mengeluarkan pernyataan bahwa "BUKU INI SEDANG KUBACA!" kepada dunia.
Nggak salah, sih. Tapi membuat masalah baru. Karena membaca adalah sebuah kebutuhan dan eskapis dari duniamu. Bukan menambah masalah.
Memang, setting milestone atau menulis target bukanlah sebuah masalah. Konsistensi, kata mereka. Untuk membantumu menyelesaikan apa yang sudah kamu mulai.
Tapi mereka tidak bilang menyelesaikan apa yang aku tidak suka.
Sesekali, apa yang kita butuhkan memang berat. Buku-buku startup atau bisnis terkadang tidak masuk di kepalaku, tapi aku tertantang menyelesaikannya. Tapi buku ini? Aku belum menemukan kebutuhanku akan buku ini dan aku dipaksa untuk menyelesaikannya?
Untuk siapa? Untuk para teman di Goodreads bahwa aku sudah menyelesaikan buku ini?
Inilah mengapa kamu tidak perlu melantangkan suara bila sedang mengerjakan sesuatu. Membuat orang lain berharap. Bahkan bila 'orang lain' itu adalah sebuah website ulasan buku yang secara logika... statis.
Resolusinya? Aku menulis buku yang sudah kubaca sebagai ulasan saja, bukan sebagai "Sedang dibaca".
Bahkan bilapun aku mencantumkannya, aku tidak akan ragu untuk menghapusnya dari daftarku bila buku itu mulai membosankan.
Langkah kelima: Masih merasa tidak enak? Mulai baca dari yang ringan seperti Medium atau media sosial berfaedah
Sudah melakukan 4 langkah sebelumnya? Baik.
Oh, kau bilang masih ada rasa tidak enak? Okay, tenang, itu wajar.
Sekai lagi, bacalah buku karena kau menyukainya, bukan karena kau sudah terlanjur membacanya. Bahkan alasan "Aku harus membaca buku itu karena aku harus bisa menguasai ketrampilan itu" jauh lebih dapat kuterima dibanding memaksakan diri membaca buku yang kau tahu tidak memberikan apapun.
Bacalah beberapa artikel ringan yang ada di internet. Aku menyarankan Medium karena selalu ada informasi menarik yang dapat kamu temukan. Atau kamu bisa mulai mengunduh Flipboard atau news channel lain.
Bahkan membaca thread di Twitter atau informasi di Instagram sangat bagus, asal berfaedah. Setidaknya minat bacamu tidak turun hanya karena merasa tak bersalah.
via GIPHY
Berhenti membaca buku yang tidak kamu sukai, bukan berarti kamu memiliki minat baca rendah.
Hanya saja buku yang kamu ambil bukanlah pilihan yang tepat.
Memiliki selera "suka dan tidak suka" dalam buku yang akan dibaca berarti kamu memiliki minat membaca. Hanya saja, buku seperti apa?
Bila kamu tidak memiliki minat membaca, semua buku tentu kamu anggap tidak suka, bukan?
Jadi jangan sampai buku yang kamu baca menjadikan kamu sebuah robot yang harus menyelesaikan tugasnya hingga akhir. Namun, sadari bahwa kamu adalah bos dalam kegiatan membaca itu. Kamu menentukan apa yang menjadi pilihanmu untuk dibaca.
Yuk mulai memilih buku yang kamu sukai! Jangan lupa bagikan buku favoritmu kepadaku, ya!
Saya suka tulisan mba
BalasHapus