Pintu Itu Bukan Menuju Keluar, Melainkan ke Ruangan Lain dalam Rumah Ini

Siang itu aku mengantuk, melihat jam, berharap bahwa jika aku tertidur di meja kantorku, saat bangun semua sudah petang.

Seseorang menelponku, membangunkanku yang sialnya hanya 1 menit berlalu sejak aku terpejam.

"Aku sudah membaca blogmu," ujar seseorang di luar sana. Terdengar keriuhan di latar. Sungguh aneh, harusnya dia masih di kantor saat ini.

"Ada yang ingin kusampaikan, menanggapi tulisanmu, dan kuharap juga berguna bagi banyak orang."

--

Pintu itu bukan menuju keluar, melainkan ke ruangan lain dalam rumah ini.

Unsplash

Aku bukan orang yang pandai menulis,
Aku hanya sekedar mengutarakan hal yang pernah kualami. Berharap agar setiap dari kalian yang membaca ini tidak mengulangi kesalahanku dan mendapatkan keberanian baru.

Awalnya, selalu menyenangkan dan penuh antusiasme... tapi mungkin juga tidak. Aku ingat ketika pertama kali aku melangkah masuk, perasaan senang, khawatir, takut, dan antusias berlomba-lomba mengungguli satu sama lain.
Awalnya berat, tapi lama-lama aku merasa nyaman.

Aku kini berada dalam comfort zone-ku.

Sialnya, ternyata ini adalah sebuah siklus.

Konflik A - Z menggiringku pada ketidaknyamanan, pada asumsi bahwa kesehatan mentalku mulai terganggu.
Tempat ini sudah tidak baik untukku.
Aku sungguh tidak percaya bahwa yang selama ini aku anggap comfort zone justru bisa membuat kesehatan mentalku terganggu!

Aku tidak menyalahkan siapapun, tidak semesta, tidak mereka bahkan tidak diriku sendiri.

Kemudian aku merasionalkan pikiranku, ini cukup "lumrah" terjadi.

Bukan karena mereka terlalu bodoh dalam mengatur hal di dalam sini tapi mungkin ketika mereka bergerak, tanpa disadari justru gerakan itu menghancurkan sekitarnya.

Sudahlah, fokusku kini pada diriku saja. Bagaimana mentalku bisa sehat kembali.
Lalu apa yang akan aku lakukan?

Saat gambaran buram yang hanya bisa kulihat, ada seseorang yang mengejutkanku dengan pertanyaannya!

"Mau sampai kapan kamu disitu?"

Unsplash

Ibaratkan saja dunia ini sebagai sebuah rumah yang memiliki 3 pintu :
  1. Pintu pertama : comfort zone; Inilah ruangan yang aku tinggali sekian lama
  2. Pintu kedua : risk zone; Pintu ini tidak jauh denganku dan terlihat menarik tapi aku tidak tahu apakah menyenangkan atau menyedihkan dibaliknya
  3. Pintu ketiga : dangerous zone; Ini adalah pintu keluar dari rumah dan aku sama sekali tidak tahu apa yang ada di luar rumah
Kamu baru berada dalam satu ruangan padahal masih banyak ruangan lain dalam rumah ini. Yakin tidak mau mengeksplor ruangan lain?

Aku terhentak.

Dari ketiga pintu itu, kira-kira mana yang akan aku pilih?

Memutar otak kembali dan mencoba mengingat tujuan hidup, itu yang kulakukan.
Aku ingat bahwa aku ingin mencoba dan mengenal banyak hal baru di dunia ini, aku ingin BISA dan BERHASIL.
Aku ingin orang-orang terkasih melihat dengan bangga ke arahku, karena aku tidak peduli jika itu orang lain.

Dan dengan yakin aku memutuskan ....
Inilah saatnya membuka pintu kedua itu, memasuki risk zone yang akan kuubah menjadi comfort zone ku yang baru.

Bagi sebagian orang, berada di comfort zone saja sudah cukup. Namun tidak bagiku.
Aku tidak ingin comfort zone yang itu saja, aku ingin comfort zone yang lebih luas maka akan aku ubah risk zone itu menjadi comfort zoneku yang baru.

Kenapa tidak sekalian saja ke dangerous zone?

Rasanya aku masih cukup waras saja untuk tidak keluar rumah tanpa belajar cara bertahan hidup lebih dulu, bisa-bisa kemungkinan hidupku diluar sana kurang dari 10% atau bahkan 0%.

Sekali lagi kuyakinkan diri bahwa aku tidak pergi dari ruangan ini. Aku hanya membuka pintu yang lain sehingga tempat bermainku menjadi lebih luas.

Selamat datang di pintu kedua dalam rumah ini :)

Unsplash

Semoga aku bisa membuka pintu yang lain sehingga di bagian manapun aku berada dalam rumah ini, aku selalu bisa menyebutnya

"Comfort zoneku"
"Rumahku"
"Duniaku"


--
"Sudah dulu ya", ujarnya sambil tergesa-gesa. Aku masih terpukau.

"Kau terburu-buru", kataku sambil tersenyum, terhenyak dalam diam karena sanubariku ditampar oleh kenyataan.

"Kau takkan pernah tahu rasanya bagaimana teleponmu disadap oleh atasanmu." ujarnya, tertawa kecil. Aku tahu, tawa yang dia berusaha sangkal.
--
Perluaslah, comfort zonemu.
- Fay.

2 komentar:

  1. Bagus banget mbak :) Makasih udah menginspirasku aku untuk terus melaju :)

    BalasHapus

Terima kasih telah berkunjung. Sila untuk bertandang kembali bilamana saya membalas :)

Instagram