Dia Dalam 6 Kata

Jantungku hampir lepas ketika aku merasakan sentuhan kasar di punggungku. Keras dan berat! Aku melonjak dan menatap ke belakang.

Oh, ya ampun.

Aku lupa aku sudah menikah dengan pria yang bahkan tidak pernah mengucapkan satu kata romantis pun kepadaku.

Menyesal? Tidak, bagaimana mungkin aku bisa menyesali pernikahanku dengan pria yang sudah mengenalku selama 13 tahun--tahun ini ke 14--dan membawakanku roti mahal yang membuat semua ibu-ibu pengajian di rumah memonyongkan mulut dan tersipu malu.

'Beruntungnya, Bu!'

Yup, sangat beruntung.

Kecuali aku tahu aku tidak pernah suka roti itu, dan tidak tahu mengapa dia tetap meletakkannya di atas meja makan pada pukul 7 malam dan beranjak menonton sepakbola Jerman.

'Hon, aku tidak suka kau memukulku dalam tidurmu lagi.' protesku sambil menata bantal. Sinar matahari perlahan masuk ke celah jendela, menandakan hari baru dan aku harus menyiapkan sarapan sebelum aku pergi.

Iya, dia tidak akan pernah tau aku pergi atau tidak. Dia tidak akan pernah bertanya pergi kemana, sedang apa, dan kapan pulang.

Dia hanyalah dia yang tidak akan pernah berubah. Aku mencintainya, tapi, ah sudahlah. Terkadang kamu harus merasakan pahitnya permen kayu putih sebelum mendapati kehangatannya.

Dia hanya mendengkur pelan.

Aku menjalani hari layaknya biasanya. Menyiapkan sarapan: telur dengan bacon sapi crispy yang lezat, tentu dengan kentang kesukaan suamiku--dia tidak makan nasi--dan satu mangkuk sup makaroni tanpa garam.

Setelah itu, aku keluar dan pergi ke kantor. Aku berpapasan dengan salah satu rekan kerjaku di depan parkiran mobil. Sebelum kusentuh, dia menoleh dan berkata 'Hai, apa kabar? Hari ini cerah, dan kamu akan duduk di samping Pak Ageng yang mendapat promosi. Cepatlah masuk karena Bu Mita mungkin menunggumu.'

Aku tersenyum dan cuma berkata 'Okay...'

Bagaimana dia bisa sedetil itu? Oh well, bukan masalah!

Lalu aku duduk di samping Pak Ageng yang tampak sibuk dengan komputernya. Aku mencoba mengingat untuk memberinya ucapan selamat nanti.

Bu Mita sudah menunggu. Wajahnya tampak datar dan menjelaskan tugas apa yang akan kukerjakan hari ini. Tunggu, kenapa berbeda dengan hari kemarin. Aku sedang meneliti jaringan insulin pada babi dan mencoba mencari pengganti halal nya, tapi beliau memintaku hal lain. Bukan hal yg sulit, aku melakukannya.

Dan hari berjalan sempurna. Pak Ageng pulang duluan tanpa menyapaku. Huft, aku tidak ingat jika dia secuek itu. Bagaimana pun aku pulang dan...

Mendapati sebuah kantung kresek berisi Tous les Jour di meja makanku. Suamiku? Dia bahkan tidak mengucapkan apapun selain  bermain FIFA di PS4 yang baru dibelinya 3 hari lalu. Tunggu, itu game baru? Aghhh, padahal kamu baru saja membeli game baru!

Aku muak. Aku mengangkat keresek itu dan melangkah ke arahnya.

'Aku muak dengan kuemu.'

Suamiku menoleh ke arahku, lalu kembali ke gamenya. 'Kenapa?'

'Aku lebih menginginkanmu bicara padaku daripada kamu memberikanku roti yang bahkan aku tidak menyukainya! Aku sangat benci padamu yang diam, bahkan hey! Saat aku bicara kau sudah bermain lagi dengan game... itu game baru kan? Kamu baru saja beli 3 hari lalu!'

Suamiku terdiam. Lalu meletakkan stiknya di meja dan menghadap ke arahku.

'Sayang, selamat anniversary ke 20.' Dia tersenyum.

Tunggu, apa? 20? Kita baru anniv ke 14 tahun ini. Apa dia gila?

'Ada 6 kata yang menggambarkan dirimu.'

Aku mengernyit, apaan sih? Kok mengubah topik?

'Tous Les Jour, I love you.' Dia tersenyum pelan. 'It rhymes, ya nggak sih, Hon?'

Aku bingung. Kenapa tiba2 jadi begini? 'Ke 20 apanya? Sekarang bukan anniv kita, dan kita baru anniv ke 14!'

Suamiku tersenyum, dan tiba2 tenggorokannya tampak kaku. Kukira dia akan mati tersedak karena merasa bersalah, tapi tidak. Justru dia menangis. Air matanya membendung di kelopaknya.

'Kamu masih belum ingat ya?'

'Ingat apa?'

'Sayang, kecelakaan itu sudah 6 tahun lalu. Kenapa kamu nggak inget-inget sih...'

Aku terdiam beberapa saat. Kecelakaan apa? Kenapa? Siapa? Dan tanpa sadar aku menangis dalam keheningan, berlomba irama dengan isak suamiku. Apa yang dia maksudkan?

Di sela tangisnya, dia mengeluarkan berbagai kata yang perlu kurangkai dengan berat hati.
Bahwa dia dulu tidak pernah bersikap romantis, dia menyesalinya, dan dia hanya membawakan Tous Les Jours karena dia ingin mengucapkan 6 kata tersebut, tp tidak pernah ada kesempatan karena dia begitu lebih memilih bermain game dan teman2nya dibanding aku,
dan saat aku muak, aku sebal, aku membuang roti itu dan lari ke jalan, hendak bertemu temanku, hingga sebuah mobil Ferrari yang dikendarai remaja sialan melesat kencang,
menabrak paha dan pinggangku serta melemparku ke aspal dengan kepala setengah retak, namun nafas masih berdetak.

Dan ini adalah 2140 kalinya suamiku mengatakan hal ini. Setiap malam. Setiap pulang kerja. Setiap Bu Mita menjelaskan tugas berbeda dan teman yang kutemui di parkiran menjelaskan Pak Ageng duduk di sebelahku meskipun dia sudah berpindah sejak 3 tahun lalu.

Bahwa suamiku ingin aku tahu sebelum aku tidur, bahwa ia sangat mencintaiku, menyesali semua kesalahannya, dan mengucapkan 'Tous Les Jour, I love You' meskipun ia tahu, saat kami berdua tertidur lelap, mimpi merampas semua kalimatnya, dan membiarkannya mengapung di udara.

Dan membiarkanku bangun, kembali ke 6 tahun silam.

Photo by Jon Tyson on Unsplash

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Terima kasih telah berkunjung. Sila untuk bertandang kembali bilamana saya membalas :)

Instagram