Menggenggam Awan

"Nduk sayang, lagi liatin apa?"

Ucapan Ibu membuyarkan lamunanku. Aku menoleh ke arah beliau yang sedang menguleg sambel untuk dijual ke tetangga. Di masa Ramadhan, sambal menjadi primadona yang dicari semua org.

"Melihat awan, Bu." kataku pelan. Aku berhalan ke arah ibu dan mengambil cobek yang lebih kecil untuk membantu. Ibu tiba2 menariknya dan menyuruhku duduk saja.

"Lebih baik kamu temani ibu." Aku pun mengangguk.

"Nduk, tahu nggak, ada lho yang disebut Putri Awan." ucap Ibu sambil menuangkan garam dan gula. Sambal Ibu sangat nikmat, paduan kesegarannya sangat tepat.

"Putri Awan? Ceritain dong Bu!"

"Boleh, tapi tolong ambilkan 3 toples sambal ya Nduk, yang tutupnya hijau. Lalu dilap dulu."

Aku bergegas melakukan apa yang Ibu minta. Mendengarkan dongeng dari Ibu selalu menyenangkan.

"Maturnuwun Nduk. Nah sekarang duduk yang tenang ya."

Photo by SHAH Shah on Unsplash
Beberapa tahun lalu, ah nggak, beberapa puluh tahun lalu, hiduplah seorang gadis desa yang merupakan anak dari Abdi Dalem. Gadis itu sebut saja namanya Eka. Eka memiliki paras yang sangat cantik, dengan kulit putih, rambut hitam, dan sifatnya ramah sekali.

Ayah Eka tidak pernah berada di rumah, beliau selalu mengabdi pada Keraton. Ibu Eka sudah meninggal. Sehingga tidak jarang Eka merasa kesepian.

Saat itu, Abdi Dalem dianggap memiliki kekuatan dan status berbeda dari orang kebanyakan. Makanya, banyak yang tidak mau berteman dengan Eka.

Sudah pasti Eka jadi semakin kesepian, kan?
.
Suatu hari, Eka bermain di halaman rumahnya yang istimewa. Tidak semua rumah seperti rumah Eka. Pohon mangga dan jambu tumbuh subur di tanah tersebut. Sehingga Eka sering mengumpulkan dan membagikan buah buahan ke tetangga. Tapi ya begitulah, tetangga hanya menerima tanpa menjawab. Eka tetap kesepian.

Eka cuma berdoa dan berteriak sambil menatap langit, "Aku ingin mengisi kekosonganku." Lalu dia pun kembali ke rumah.

Siang itu, hujan turun dengan derasnya disertai petir yang menyambar cepat. Eka menyelesaikan sholat Dhuhur dan bergegas memasak nasi. Tapi...

DUAR! Suara menggelegar datang dari halaman rumahnya. Eka bersumpah dia melihat petir di depan matamya menyambar pohon jambu. Dan benar saja...

Pohon jambu terbelah menjadi dua! Eka menggelengkan kepala, baru saja pohon itu berbuah!

Namun anehnya, salah satu batang pohon itu melandai dan mengarah ke atas, seolah membentuk sebuah tangga menuju ke langit. Di atas batang itu ada kumpulan awan yang, anehnya, tidak bergerak meski cuaca tidak bersahabat.

Eka tidak mengambil pusing, tapi dia akan mencoba memanjatnya nanti.

Photo by niko photos on Unsplash
Cuaca semakin membaik, nasi sudah matang. Saat Bapak kembali, beliau sudah bisa makan malam sambil nonton TV dan mengaji sampai malam seperti biasa. Dan Eka punya waktu untuk mencoba memanjat pohon itu sebelum beliau tiba.

--

Satu, dua, hap! Eka sudah berada di atas batang kayu yang menjalar ke atas. Perlahan dia meniti langkah hingga ke atas, atas, dan tunggu dulu... kok batangnya tidak berakhir ya? Hingga dia menyadari sudah sangat tinggi di atas langit!

Eka sangat ketakutan. Bagaimana bila dia jatuh? Tapi Eka terus melaju karena dia sudah sampai sejauh ini. Dia terus naik, naik, hingga akhirnya tampak ujung dari batang dan dia mendapati dirinya di tengah lautan awan.

Eka mengusap mata. Ini sungguh terjadi, katanya! Dan di sampingnya berdirilah seorang laki2 seumurannya mengenakan pakaian putih.

"Eka?" tanya anak itu. Eka mengangguk, tidak tahu harus menjawab apa karena dia sangat ketakutan! Apakah ini surga?

"Selamat datang di Kerajaan Awan. Kamu adalah satu2nya manusia Bumi yang mendapat keistimewaan bersama kami. Namaku Ar."

Ar. Itulah yang Eka dengar. Nama yang sangat asing.

"Mari, ikutlah denganku. Awan ini aman, kok." ujarnya pelan sambil tersenyum. Eka pun mencoba melangkah di atas awan yang sangat menggemaskan, berwarna merah jambu dengan aroma permen. Awan itu padat, dan tidak membuatnya terjatuh!

Sepanjang perjalanan, Ar bercerita tentang Kerajaan Awan. Tentang sejarahnya yang sudah berdiri lebih lama daripada kota Eka, tentang struktur kerajaan, dan Eka mendapati bahwa dia bicara dengan Pangeran Awan, Ar.

"Kamu tau kenapa kamu diundang oleh kami?"

Eka menggeleng.

"Karena kami tahu kamu orang baik yang disalahpahami. Begitu pula dengan kami. Manusia Bumi begitu sombong, mereka menganggap sesuatu yang 'di atas' adalah musuh. Padahal tanpa disadari, mereka hanya ketakutan jika dianggap 'di bawah' kami. Itu sama sekali tidak ada hubungannya."

Dan setelah itu Ar mengajak Eka untuk bermain di Kerajaan Awan. Makan siang dengan lahap, bertemu makhluk Kerajaan Awan, dan berkeliling melihat Bumi dari berbagai tempat berbeda, hanya dalam 1 langkah.

Eka tidak pernah sebahagia itu dalam hidupnya, meskipun dia tidak bicara banyak. Faktanya, dia hampir tidak pernah bicara banyak, mengingat tidak ada yang mengajaknya bicara.

"Sudah larut," ujar Ar.

Eka mengernyit. "Tapi ini baru jam 5 sore."

"Kami Kerajaan Awan harus berpindah tempat dan zona waktu saat daerah mu malam. Kami tidak bisa menawarkan tempat tinggal, dan kamu harus turun. Maaf."

Eka mengerti. Ar tidak mengusirnya. Namun saat akan turun, Eka meneteskan air mata. "Aku akan sendiri lagi ya?"

Ar terdiam. Kemudian tersenyum. "Besok kita main lagi?"

--

Begitulah, Eka dan Ar terus bermain setiap hari selama cuaca cerah sebelum Abdi Dalem kembali pulang. Eka dan Ar tumbuh menjadi sepasang remaja yang melengkapi satu sama lain. Eka dengan rasa penasarannya, dan Ar dengan pengetahuan seluas samudra di Bumi.

Eka tidak pernah mendapatkan sosok ini dalam hidupnya. Seolah ada relung yang kosong, namun dia tak pernah tahu itu ada hingga Ar mengisinya.

Hingga mereka sadar, mereka jatuh cinta. Eka merasa sudah penuh, ia tahu ia tidak merasa kurang suatu apa.

Namin sanggupkah ia menggenggam awan yang mustahil untuk digapai?

Ar begitu tinggi, dia begitu rendah.

Namun suatu ketika, dia berkata "Aku tahu apa yang kau pikirkan. Kumohon jangan."

Eka terdiam.

"Jangan berpikir kamu lebih rendah dariku. Kamu adalah orang yang kucintai. Kita sama. Ayo menikah besok."

Hari itu juga, Eka menyadari bahwa pernikahan Kerajaan Awan dan Manusia Bumi bisa terjadi. Hanya saja, Manusia Awan tidak akan bisa tinggal di Bumi, dan begitulah kebalikannya.

Photo by Priscilla Du Preez on Unsplash

Eka mengira, hal itu tidak akan pernah menjadi masalah. Semua berjalan layaknya normal. Hingga Eka tahu ia tak lagi sendirian.


Ia tengah mengandung buah hatinya bersama Ar. Dan Eka tersadar, tidak ada satu orang pun, bahkan Abdi Dalem yang mengetahui hal ini.

Dalam sekejap saja, sebelum Eka bisa menyampaikan hal ini kepada Ar, Abdi Dalem mengetahui hal ini dan berita menyebar begitu cepat. Abdi Dalem sangat kecewa, Eka bisa melihat tangisan terbendung di pelupuknya.

Siang itu, Eka harusnya pergi menuju Kerajaan Awan.

Namun siang itu juga, Eka segera dinikahkan oleh seorang pria, putra dari Abdi Dalem lain yang bahkan Eka tak mengenal namanya.

Mereka berdua tinggal cukup jauh dari rumah Eka, jauh dari pohon jambu, jauh dari Kerajaan Awan.

6 bulan kemudian, Eka melahirkan seorang gadis cantik dengan paras indah seperti ibunya. Baunya seperti permen, dan matanya cerah layaknya awan putih di langit biru.

Suami Eka hanya mendampingi tanpa bicara sepatah kata pun. Dan pergi tanpa kembali seminggu setelahnya.

Lucunya, Eka sama sekali tidak terganggu akan hal itu. Dia justru kembali ke rumah asalnya tepat ketika putrinya berusia 10 bulan. Dan di saat itu dia memberanikan diri memanjat kembali pohon jambu yang masih utuh, kini menggendong putrinya ke atas.

Dan Ar masih menunggunya.

"Kemana saja kamu?" Tanyanya lembut. Matanya kemudian berpindah kepada bayi mungil di tangan Eka. "Ini..."

"Maaf." Ujar Eka. "Maaf..."

Ar terdiam. "Sudahkah kau beri nama?"

Eka menggeleng, belum.

"Ini putri kita?" Ar melunak, wajahnya tersenyum dan memeluk bayi itu dengan penuh kasih sayang.

Eka mengangguk. Namun kesedihan berkilat di matanya. Ar tampak mengetahuinya.

"Aku tahu, Sayang." ujar Ar. Eka menoleh. "Dan kamu tidak salah. Jangan salahkan dirimu."

Eka terdiam. Kemudian memeluk Ar yg masih menggendong bayi itu. Ia menangis, mengeluarkan semua bebannya, rasa letih, jengkel, dan semua hal yang ia dulu bisa lakukan namun kini tidak. Ia merindukan Ar. Ia mencintai Ar. Dan berada di pelukannya adalah momen terbaik hingga...

Ar menjauh, memberikan bayi itu, dan mengambil beberapa langkah mundur.

"Aku tidak bisa." Kata Ar.

Eka menganga. "Kenapa?"

"Masyarakat Awan tidak bisa menerima poligami, poliandri, atau apapun itu. Kami mengikat janji dengan 1 org hingga mati. Karena itu..."

Eka terkejut melihat tubuh Ar mulai menghitam. "Ar, apa yang..."

"Kita sudah menghabiskan 7 tahun bersama... dan itu menyenangkan. Tapi maaf... aku tidak bisa hadir untukmu, di saat saat sulit. Pun kamu tak bisa selamanya hadir untukku, dimana hal itu tentu tidak akan pernah menemukan solusinya. Dan seperti yang sudah kubilang..."

Kami mengikat janji dengan 1 org hingga mati...

Dan kini Ar maupun Eka sudah tidak mengikat janji apapun...

Eka menangis, menyerbu Ar yang menghitam, dan mulai basah. Tubuhnya ringan, dan dia berbau sejuk... layaknya...

"Aku tidak akan melupakanmu, Putri Awan." Ujar Ar, suaranya parau, dan menyerupai gemuruh.

Eka menangis. "Tolong, jangan tinggalkan aku. Maafkan aku."

Ar menggeleng. "Mungkin kita tidak bisa bersama selamanya. Namun aku tau satu hal..."

"...aku mungkin hanya 7 tahun hidupmu, namun kamu adalah selamanya untukku..."

Eka menangis, menjerit, begitu pula dengan bayi yang ada di tangannya.

Ar meledak, menghilang, ada jeritan terakhir seperti kata 'Aku menyayangimu.'

Dan hal terakhir yang Eka ingat adalah guyuran hujan yang membasahi seluruh tubuh Eka, hingga tertidur.

Saat Eka membuka mata, ia terbangun di atas kasur rumahnya. Hujan badai mengetuk atap rumahnya dengan kasar, dan sesaat Eka merasa sedang bangun dari tidur panjang.

Namun tangisan bayi perempuan di sampingnya menyadarkannya bahwa ini bukan mimpi. Lengannya basah, lengan yang baru saja ia memeluk cinta sejatinya, menggenggam awan yang akhirnya menjadi hujan dan lenyap.

Namun Eka mengingat satu hal dari Ar saat mereka belajar geologi. Bahwa hujan akan mengalir, dan menjadi awan kembali, meskipun butuh waktu panjang.

Meskipun Ar tiada, tapi jiwanya ada, jiwa yang menyatu bersama jiwanya, dalam buntalan selimut, dalam jiwa putri kesayangannya.

Bayi itu bernama Hujan, dan Eka selamanya adalah Putri Awan.

--

"Ibu, itu ceritanya bagus sekali!" Ujarku sambil bertepuk tangan. Ibu cuma tersenyum sambil memasukkan sambal ke toples terakhir. Nah sudah! Tinggal diberi label dan siap dijual.

"Nah, sudah selesai kan? Sekarang giliranmu ya Nduk untuk mengantarkan sambal ini ke orang sebelah. Ingat, meskipun mereka judes, kamu harus tetap bahagia."

Itulah nasehat yang Ibu selalu sampaikan ke aku. Sampai bosan. Tapi aku tak pernah bosan, karena Ibu memang begitulah adanya. Aku mengambl label, menempelkannya, dan siap dikirim.

Ah, aku jadi berpikir, apakah cerita ibu sungguh ada. Ketika langit bergetar, dan menemukan cinta sejati, meskipun tidak selamanya. Tapi tetap sejati.

Bagaimanapun, aku masih kelas 6 SD. Belum waktunya berkata cinta2an. Saat aku mengeluarkan sepeda, aku menoleh ke arah barat. Pohon jambu yang terbelah dua, denga batang mengarah ke angkasa. Tunggu, kenapa aku tidak menyadarinya? Aku memperhatikan lagi, sungguh2 sesuai dengan deskripsi Ibu, meskipun tidak ada awan di atasnya.

Ah mungkinkah? Atau itu cuma cerita dimirip2kan saja?

Yang jelas, aku terkejut mendengar akhir cerita Ibu karena...

"HUJAAAAN, SAMBALNYA KETINGGALAN!"

Photo by Aline de Nadai on Unsplash

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Terima kasih telah berkunjung. Sila untuk bertandang kembali bilamana saya membalas :)

Instagram