Review Buku: Na Willa, Menjelajahi Kisah Dewasa dari Mata Kanak-kanak

Selama ini kita selalu berpikir bahwa dunia kanak-kanak adalah dunia yang berbeda dengan dunia dewasa.

Tanpa sadar, kamu mungkin mengatakan hal ini:

Anak kecil nggak perlu tahu

atau

Ah, nanti saja kalau sudah dewasa kamu kan tahu sendiri

Padahal, fenomena yang terjadi tidak memandang usia!

Kamu tidak bisa mengatakan kalimat di atas, jika seorang anak kecil melihat perampokan di depan matanya.

Yang bisa kamu lakukan adalah menjelaskan dengan cara yang bisa dipahami, termasuk pesan moralnya.

Itulah yang kutemukan di buku Na Willa, karangan Reda Gaudiamo

Buku Na Willa milik saya, menyenangkan!

Berlatar di kampung utara Surabaya, kisah ini menyorot Na Willa sebagai seorang Tionghoa di lingkungan yang beragam.

Tidak sepenuhnya, tetapi kita akan belajar bagaimana kompleksitas kehidupan 'dewasa' bahkan ada di dunia kanak-kanak.

Buku Na Willa menceritakan kehidupan dari sudut pandang Willa, yang masih akan duduk di bangku taman kanak-kanak dan interaksinya dengan lingkungan sosialnya.

Masih ingat perasaanmu saat bermain kelereng dengan teman, atau mengejar layangan sore hari?

Na Willa membawakannya dengan sudut pandang orang pertama yang lugu, apa adanya, dan ndablek alias nakal.

Ekspresi Willa saat menginginkan anak ayam yang dijual di pasar sambil menangis membuat saya gemas. Mak, alias ibu Willa, adalah tokoh kedua yang sering berinteraksi.

Aku bersimpati kepada Mak.

Perkenalan indah kepada teman-teman Willa menyadarkanku betapa beragamnya dunia ini!

Anak-anak, sebuah dunia sendiri yang ajaib! Foto dari Unsplash.

Kamu akan berkenalan dengan Bud, Ida, Dul, dan teman-teman lain yang tidak sempurna.

Ya, aku bilang tidak sempurna karena rasanya selalu ada kebaikan disambung dengan kesedihan yang menyertai sepanjang cerita mereka.

Bud yang ingusan takut pada Mak. Dul mengalami musibah, tetapi masih tersenyum. Dan Ida… Mungkin Ida tidak tahu apa yang menanti saat dewasa, tapi biarlah menjadi perspektif dewasa.

Namun ketiganya seolah 'normal' karena Willa menyayangi mereka, masih bermain masak-masakan, gundu, dan memanjat pohon.
Hal yang sering kita keluhkan, seperti "Kamu ingusan!" seolah bukan sebuah masalah bagi Willa dkk.

Aku tertampar: masih bisakah aku menyayangi dan menerima teman-temanku seperti saat aku kecil dulu?

Seberapa keras usaha kita menjauhkan diri dari hal negatif, tetap saja ada yang tertangkap dari sepasang bola mata mungil

Sekelas tertawa ketika melihat Na Willa. Bu Guru juga. Kenapa mereka semua tidak menyukaiku?

Na Willa, usia masih akan bersekolah, ditertawakan karena dirinya berbeda secara ras.
Sayangnya, Bu Guru sebagai teladan tidak melakukan apapun, bahkan menunjukkan sisi opresif sebagai tenaga pengajar.

Apa yang Na Willa dan Mak lakukan?

Marilah kita menjelajahi dunia Na Willa dan bagaimana dia menghadapi situasi dengan cara yang mungkin menggelitik dan membuat kita berkata, "Mungkin aku juga akan melakukannya!"

Akhir kata, aku bisa bilang buku ini ringan, dan menyegarkan pikiran yang terlampau sibuk dibebani kedewasaan

Karena seringkali, kita lupa caranya untuk bahagia barang sederhana saja.
Lupa beristirahat, lupa tertawa.

Selamat membaca Na Willa!

...

Sudah pernah dipublikasikan di Medium dengan judul sama.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Terima kasih telah berkunjung. Sila untuk bertandang kembali bilamana saya membalas :)

Instagram