Menghilang, di Lantai Dansa Bernama Dunia

lighted kerosene lantern -
Photo by Vladimir Fedotof


Ini sebuah kisah sedih,

Tentang seorang wanita yang tersesat

terdampar

terpenjara

dan menghilang tanpa jejak di lantai dansa bernama dunia.


Dia menyalakan sejentik lentera

yang apinya tak kunjung padam

pun tak kunjung membara

Lima, sepuluh, hingga ratusan detik berlalu

Terkadang, jalanan memang gelap gulita

Meski dia tahu, semua hanya tak menyapa


“Permisi,”

Ujarnya, sebuah bisikan yang menggema layaknya lantunan nada di tengah panggung sandiwara

“Saya tersesat, adakah yang bisa mengantarkan saya kembali?”


Setiap babak sudah dihaturkan sedemikian rupa

Idem dengan naskah yang sudah dibagikan

Keheningan, nampaknya, bukan sebuah ketidaksengajaan

Peran yang dengan apik dimainkan, oleh semua pihak yang seolah hanya mendengar kenahasan.


Ini sebuah kisah sedih,

Tentang wanita yang meratap dan berharap

Berdiri, merangkak, berjalan, dan berlari

Disaksikan gemerlap galaksi di ujung mata

Diamini sejumlah kalut di dalam dada


Para pembaca sekalian,

Setiap jengkalnya adalah lomba maraton,

dengan satu catatan

Tak ada yang mau bergantian membawa baton,

Kecuali wanita itu

Yang terus menggenggam, menggandeng, dan menggendong beban itu

Terus, hingga ke garis finis.


Dimana? Dimana garis finis itu?


Dimana bahagia yang dijanjikan di awal mula?

Dimana kepuasan yang diucapkan di ujung kepala?

Benarkah lomba ini memiliki pemenang, atau semua hanya candaan yang bahkan tak sempat untuk dicanangkan?


Ini sebuah kisah sedih,

Tentang wanita yang menelungkupkan tubuhnya di atas garis finis.

Tersenyum, menahan perih

Hingga sesosok putih datang menghampiri dan menyapu tangis.


“Mari, kita pergi,”

ujar sosok itu, dengan aroma lavender, mawar, melati, dan sedikit apel menjadi satu.


“Kemana?”


Sosok itu mengulurkan tangan, kemudian memeluk wanita itu dalam sebuah keniscayaan yang ada dan tiada


Sembari menutup mata wanita itu, tubuh semakin ringan dan membumbung ke udara.


Semua mata yang hampa, kini mulai bergulir nestapa.

Perlahan semua peran hancur, sutradara kabur, dan hanya ada penyesalan atas semua yang sudah terlanjur.


“Tugasmu sudah selesai, Ibu. Mari kembali menjadi malaikat lain di surga yang sudah dijanjikan.”


karena ketika semua hanya tertawa melihatmu, kau menangis. dan ketika kau akhirnya tersenyum, mereka semua menangis.

Terima kasih kepada semua istri dan Ibu di dunia.— 

woman lying on bed beside man
Photo by Vladimir Fedotov

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Terima kasih telah berkunjung. Sila untuk bertandang kembali bilamana saya membalas :)

Instagram