UWRF 2025 : Hikayat Solo Traveling dan Mempersunting Sang Waktu

Bicara soal solo-traveling, saya selalu membayangkan para backpacker keren, handphone Iphone Pro untuk merekam segala jejak, sifat easy going yang bisa membaur dengan siapapun. "Hidup adalah soal perjalanan," kata mereka, "Jangan habiskan waktumu di satu tempat yang sama saja!"

Kutipan tersebut membuat saya jengkel. Apa salahnya sih berdiam di rumah atau hanya berkelana di sekeliling kota sambil menyesap tisane herbal favorit?! Toh juga sama-sama skena!

Nyatanya, solo traveling bukan soal 'kabur dari rutinitas', melainkan dialog dengan diri sendiri tentang apa yang penting, dan apa yang sebenarnya tidak perlu kita kejar lama-lama.

Inilah refleksi perjalanan saya ke Bali untuk Ubud Writers and Readers Festival 2025.


Terjebak Antara 'Pertanda Buruk' atau Tantangan

Menghadiri Ubud Writers and Readers Festival merupakan cita-cita saya sejak lama. Saya selalu menyematkannya dalam Notion saya khususon page "Long Term Goal" saya.

Di tengah amukan tantangan dan tuntutan pekerjaan dengan peran baru, saya berterima kasih pada diri saya di awal tahun yang percaya bahwa ini adalah waktu yang tepat.

Usai dapat acc dari supervisor, saya menyiapkan segalanya mulai dari travel, hotel, serta daftar kunjungan yang bisa saya hampiri jika sudah tiba. Semua berjalan mulus, syukurlah. Ada rasa bangga yang purba saat saya berhasil untuk mempersiapkan semuanya, dan sadar bahwa saya akan menjalani ini layaknya sebuah ziarah ke kuil suci di timur Jawa.

Nyatanya, semua berjalan lancar sampai hari keberangkatan.

Cukup canggung ketika saya, yang mengenakan topi pancing rajut serta senyum penuh kepuasan, tiba-tiba harus berjalan kaki ke ujung sekolah tempat saya bekerja sembari menggeret koper. Para rekanan yang awalnya ikut antusias menjadi bertanya-tanya dan tersenyum simpatik.

Jalanan macet sehingga saya harus berjalan kaki 800 meter ke masjid besar yang lebih mudah diakses. Sopir travel pun juga emosi karena sudah 2 jam terjebak di jalanan yang sama. Tak ada kata kompromi -- toleransi adalah satu-satunya jawaban.

Konyol, ujar saya dalam hati. Kenapa saat hari keberangkatan malah begini?

Hal yang Terjadi adalah Fakta; Baik atau Buruk adalah Opini

Saya melewati paving yang tidak rata serta menyapa anak-anak bermain layangan. Keringat menetes, napas terengah. Saat mengecek Strava, saya melihat 600 meter terlewati. Masjid sudah mulai tampak, namun jalanan masih membentang.

Tidak ada dalam kamus saya -- atau agenda saya -- bahwa saya akan menyeret koper dan juga tas kerja saya. Koper saya payah, rodanya hanya dua. Saya bawa laptop karena saya harus meeting hari itu.

Kenapa harus macet? Kenapa harus pakai koper ini? Kenapa kok jam-nya tidak tepat? Kenapa?

Dan saya mendongak.

Langit sedang cantik-cantiknya. Tak hujan, yang mana merupakan anomali karena sebelum dan sesudahnya turun dengan deras. Lukisan Tuhan yang tak perlu bermakna, cukup ada.

Mungkin menghitung rezeki yang dimiliki adalah cara berdamai paling efektif, tanpa perlu ini itu.

Pun sama seperti ketika tantangan tak berhenti di situ. Jalanan sangat padat, bahkan dapat dikatakan hampir tidak berjalan. Bukan hanya kami yang sakit punggung, pasti sopir kami juga. Apalagi Surabaya-Banyuwangi memakan waktu sekitar 6 jam.

Yang harusnya sampai dermaga pukul 3, kami tiba pukul 5 pagi.

Ini bukan perkara "Ya sudahlah". Saya sudah merencanakan 5 kelas yang akan saya ikuti di UWRF 2025 sejak pukul 09.00. Dan lokasi hotel saya jauh dari tempat drop-off saya. Dan lokasi UWRF jauh dari hotel saya. Dan lokasi drop-off saya jelas masih jauh dari dermaga Ketapang.

Dan saya dengan sadar bisa menepis semua masa depan tersebut dengan terpaku pada bagaimana sinar matahari terbit menyapa saya di dok kapal.

Ini adalah kesempatan langka. Semua travel sejak dulu, dari Malang/Surabaya ke Bali pasti menyebrang pukul 03.00. Sekarang, saya justru mendapatkan cahaya indah dari timur sembari menghirup aroma laut.

Sadari, kini dan di sini.

Saya menerapkan latihan Stoikisme dari buku "Filosofi Teras" yang tengah saya baca kala itu.

Saya juga menerapkan proses acceptance dari Acceptance and Commitment Therapy.

Saya terlambat; oke.

Masih lama ke Ubud-nya; ya memang.

Jalanan pasti macet; most likely.

Tapi saya di sini, tersenyum, menikmati Surya yang memeluk lembut diriku, seolah membersamai perjalanan solo traveling pertama ini.



Mungkin tidak ada pertanda buruk. Mungkin adanya pengingat bahwa kita selalu bisa memilih untuk menilai apakah hal itu baik atau buruk.

Siapa yang tahu itu sebuah berkah atau ujian. Toh kita hanya perlu menerimanya dan tersenyum. Good? Bad? Who knows! - Ajahn Brahm 

Canggung, dan Melahapnya Sebagai Pengamat

Seperti yang sudah saya singgung di awal, bahwasannya saya beranggapan orang-orang yang bisa berkelana sendirian adalah mereka yang kaya dan juga supel.

Mungkin yang pertama betul, namun yang ingin saya garis bawahi adalah supel ini. Memang, saya sering disebut supel, tapi ternyata saya sadar saya akhir-akhir ini lebih mudah canggung.

Hal ini dikarenakan (menurut analisis kepribadian terbatas saya) saya berusaha untuk mengeliminasi perasaan canggung. Ketika kita tidak mengenal siapa pun. Ketika kita tidak tahu harus apa. Ketika kita tidak menemukan kesamaan dengan orang di sekitar.

Perasaan ini, menurut nalar saya, adalah perasaan normal. Canggung adalah perasaan yang seyogyanya tidak perlu dibecandain atau pun dipermalukan. Canggung adalah perasaan yang pasti muncul di kala kita tengah berkenalan dengan tempat baru.

Tubuh akan tegang, mencari tanda-tanda safety. Observasi berjalan. Pupil bergerak untuk memindai keseluruhan lawan bicara.

Wajar.



  

 

Saya belajar untuk tidak mengusir ketidaknyamanan tersebut. Di satu sisi, karena saya tahu perasaan ini, saya pun juga memberanikan diri untuk mengajak bicara orang yang sekiranya memiliki kesamaan atau tujuan.

Dalam hal ini adalah:

  1. Penumpang travel yang ternyata tinggal satu daerah -- Memiliki kesamaan karena satu daerah asal dan tujuan
  2. Penumpang travel anak kecil -- Tentu saja dengan keingintahuannya, saya terpuaskan untuk berbagi juga
  3. Pemilik homestay di Ubud -- Awalnya karena kebutuhan, namun karena keramahannya, saya tidak canggung untuk basa-basi sembari tetap melakukan aktivitas saya (seperti sunbathing, contohnya)
  4. Teman baru di Bali yang merupakan mantan guru di sekolah saya bekerja
  5. Yang paling sulit: teman saat gathering & grounding di Bumi Kinar, Ubud.

Untuk yang terakhir, saya menjadi yakin bahwa canggung itu tidak masalah dan saya jadi lebih sadar bahwa orang yang safe untuk diajak ngobrol adalah orang yang welcome dan sama-sama sendirian.

Saya mencoba untuk join percakapan teman-teman yang sudah nge-geng, dan tidak bisa ditampik tentu saya beberapa kali diabaikan karena 'outgroup'. Bukan karena mereka tidak ramah -- sesederhana karena percakapan mereka adalah percakapan ingroup. Ini perasaan wajar.

Lagi dan lagi, saya pun belajar Stoik lagi: Izinkan waktu memutar benang pertemanan. Bilamana memang berakhir di situ, tidak apa-apa. Bila memang cocok, akan kembali lagi. Tidak semua harus cocok dalam satu kali percobaan.

Toh ternyata saya berjumpa kawan saya yang sudah tidak bertemu selama 10 tahun!

Berkenalan dengan Kesendirian dan Melampauinya

Selama tiga hari di Ubud dan menikmati Ubud Writers and Readers Festival 2025, saya berkenalan dengan diri saya sendiri.

Tidak ada pikiran, "Orang lain gimana ya?" "Kalau aku pakai baju ini gimana ya?" "Eh kalau muter-muter terus telat gimana ya?" "Pemateri ini membosankan, kalau aku keluar apakah aku akan diomongin ya?"

  

Memang, pikiran-pikiran tersebut terlintas di kepala, namun saat saya tetap melakukan hal yang saya khawatirkan, ternyata tidak ada yang protes. Tubuhku mau ini. Tubuhku mau itu. Ya sudah. Kita lakukan. Dan bam! Diriku sendiri lah yang menjadi judge atas 'oke-tidaknya' keputusan tersebut.

Bukan orang lain.

Banyak percakapan yang saya lakukan saat sarapan di warung Banyuwangi Muslim yang remang, di tengah klakson taksi jalanan Ubud utama yang begitu macet, di bawah naungan pohon-pohon serta teriakan monyet, dan tentunya gemuruh percakapan komunitas di Ubud Writers and Readers Festival 2025.

Dengan siapa? Diri sendiri.

Dari monolog tersebut, muncul sebuah wawasan baru bahwa:

  • It's okay untuk take your time di tengah keramaian karena aku cenderung sensitif terhadap crowd
  • It's okay ketika aku berkomentar atau pun mendukung pemateri karena materinya menarik
  • It's okay untuk memuji orang asing dengan tulus, karena make up atau hiasan anting mereka keren!
  • It's okay untuk tidak membelikan orang oleh-oleh -- kecuali yang memang aku mau
  • It's okay untuk tidak memenuhi semua hal yang kita rencanakan, dan tidak ada yang rugi karena toh kita masih bisa menikmati semuanya
  • Dan tentunya it's okay untuk re-use baju yang tidak terkena keringat karena hell, nggak ada yang peduli juga jika bajumu kembar sama kemarin!

Di malam hari, saya memeluk tubuh erat di tengah suara jangkrik dan burung malam. Saya begitu mencintai tubuh ini, hidup ini, dan mengapa saya harus khawatir dengan orang-orang yang tak akan pernah merenggut kehidupan saya pribadi?

Kamu tidak bisa dihina orang lain, kecuali kamu sendiri yang pertama-pertama menghina dirimu sendiri. - Epitectus 

Waktu adalah Pengantin yang Begitu Istimewa

Semua kesendirian ini ujung-ujungnya adalah satu: Waktu.

Waktu layaknya sebuah pengantin atau kekasih yang kita miliki dan takkan abadi, namun apakah kita bisa hadir secara penuh, utuh, dan seluruh untuk menikmatinya?

Kesendirian bukan berarti menyedihkan. Hikayat perjalanan saya justru menyadarkan bahwa tidak ada yang begitu berharga dibanding waktu.

Bukan untuk mencari kebahagiaan di hari ini dengan mengkhawatirkan masa depan. Bukan pula dengan menyesali masa lalu hanya untuk mencerahkan masa kini.

Sebagai pasangan, tentu perlu untuk menerima baik dan buruknya karakter tanpa kecuali. Bukankah itu janji suci yang selalu diumbarkan?

Waktu pun seberharga pasangan yang apes-untungnya bukanlah faktor kita mengumpat pada nasib, tetapi justru berkah karena kita pernah hidup dan menjalaninya.

Saya belajar untuk mengatakan "Tidak", bahkan kepada 'pikiran' saya sendiri yang masih lekat dengan mindset orang lain. Saya belajar untuk menikmati keterlambatan karena toh juga ini untuk saya. Saya belajar untuk menerima semua momentum yang terjadi selayaknya daun yang jatuh tanpa perlu peduli mengapa, atau dimana, atau bagaimana hal ini bisa terjadi.

Di hari pertama saat saya lapar, saya mengumpat karena kafe di Ubud pusat sangat mahal. Maklum, targetnya ekspatriat. Pilihannya adalah makan di Circle K. Ini bukan sesuatu yang 'keren' bila didokumentasikan, tetapi setelah diskusi dengan diri sendiri... apa salahnya?

Makan di Circle K, duduk di pinggir jalan yang diliputi asap dupa, menikmati malam di M-Mart (yang sungguh ikonik) adalah cara-cara non-konvensional namun tetap nyata adanya. Inilah yang tubuh saya inginkan. Dan saya berhasil melakukannya tanpa perlu memikirkan apakah ini Instaworthy atau tidak.

Tubuh saya. Waktu saya. Inilah proses kemerdekaan dari tuntutan atau pun ekspektasi orang lain.

Dan nyatanya, hidup adalah soal berjalan, dan perjalanan itulah yang membentuk gurat pengalaman serta kenangan dari kita.

Hikayat ini saya tulis untuk merefleksikan perjalanan tunggal saya ke sebuah acara yang menjadi impian sejak lama. Tanpa memungkiri bahwa perjalanan ini bisa saya lakukan karena saya masih lajang, bekerja penuh waktu, dan beruntung mendapatkan cuti, saya bisa bilang bahwa lakukan dari hal yang kecil dahulu.

Mengambil alih kendali kehidupan kita bisa dimulai dengan mengizinkan diri kita berproses, dan menerima bahwa kita sudah cukup apa adanya.

Tanpa melihat masa lalu. Tanpa mencuri kebahagiaan di masa depan. Dan cukup menikmati bahwa apa yang Anda miliki di masa ini sudah cukup. Ini adalah soal mencari nilai-nilai yang dianut, dan menyegarkannya kembali bahwa Anda masih memilikinya

Bisa jadi mengurus anak adalah 'perjalanan' Anda. Bisa jadi menolak pekerjaan demi keluarga adalah 'perjalanan Anda'. Apapun yang Anda pilih, tetaplah yakin bahwa Waktu tidak akan pernah mengkhianati Anda.

Tabik.

“Until you value yourself, you won’t value your time. Until you value your time, you will not do anything with it.” — M. Scott Peck 


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Terima kasih telah berkunjung. Sila untuk bertandang kembali bilamana saya membalas :)